Pendahuluan
Sesungguhnya segala puji hanya bagi Allah, kita memuji-Nya
dan memohon pertolongan dan ampunan-Nya serta berlindung kepada Allah dari
kejahatan hawa nafsu dan kejelekan amalan kita. Siapa yang ditunjuki Allah maka
tidak ada yang dapat menyesatkannya dan sebaliknya, siapa yang disesatkan maka
tidak ada yang dapat memberi petunjuk kepadanya.
Saya bersaksi bahwa tidak ada sesembahan yang haq kecuali
Allah yang Maha Esa, tidak ada sekutu bagi-Nya dan saya bersaksi bahwa Muhammad
adalah hamba dan utusan-Nya. Firman Allah Ta’ala :
“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah
dengan sebenar-benar takwa dan jangan kamu mati kecuali dalam keadaan Muslim.” (QS.
Ali Imran : 102)
“Hai manusia, bertakwalah kepada Rabbmu yang telah
menciptakan kamu dari satu jiwa dan mnciptakan darinya isterinya dan Dia
memperkembangbiakkan dari keduanya laki-laki dan perempuan yang banyak. Dan
bertakwalah kepada Allah yang dengan-Nya kamu saling meminta dan (peliharalah)
hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah senantiasa mengawasi kalian.” (QS. An
Nisa’ : 1)
“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan
berkatalah yang benar. Niscaya Allah akan memperbaiki untukmu amalan kamu dan
mengampuni dosa-dosamu. Dan barangsiapa yang mentaati Allah dan Rasul-Nya maka
sesungguhnya ia telah mendapatkan kemenangan yang besar.” (QS. Al Ahzab :
70-71)
Kemudian dari pada itu :
Maka sesungguhnya sebaik-baik perkataan adalah Kitab Allah
dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wa
Sallam. Dan sesungguhnya sejelek-jelek perkara adalah yang diada-adakan dan
setiap yang diada-adakan adalah bid’ah --(dan setiap bid’ah adalah sesat dan
yang sesat itu tempatnya di neraka)--.
Dan selanjutnya :
Sungguh saya bersyukur dan memuji Allah yang telah
melindungi Ahli Sunnah dan para imam mereka dari perkataan yang rusak dan
keyakinan (i’tiqad) yang lemah dan menganugerahkan kepada mereka kekuatan untuk
berpegang dengan tali Allah yang kokoh dan Kitab-Nya yang terang serta Sunnah
Rasul-Nya Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam yang terang-benderang bahkan menjauhkan
Ahli Sunnah dan para imam mereka dari ucapan-ucapan yang keji dan mengerikan.
Sedangkan ucapan mereka mengenai ahli bid’ah terdengar ke seluruh penjuru dan
ucapan orang-orang selain mereka mengenai mereka tertolak dan terbantah dengan
yang haq.
(Siapakah Ahli Sunnah dan para imam mereka?)
Mereka adalah orang-orang yang bersepakat di atas pendirian
bahwa apa pun yang Allah kehendaki pasti terjadi dan apa pun yang tidak Dia
kehendaki pasti tidak akan terjadi. Dan kita hendaknya menjadi orang-orang yang
mengikuti atsar (jejak) dan manhaj (jalan) mereka dan mengakui keutamaan
mereka.
“Ya Rabb kami, ampunilah kami dan saudara-saudara kami yang
telah mendahului kami dalam keimanan.” (QS. Al Hasyr : 10)
Ini adalah risalah ringkas yang berfaedah --Insya Allah--
mengenai beberapa topik yang berbeda yang kami nukilkan dari Kitab Allah ‘Azza
wa Jalla dan Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam serta ucapan para
imam Ahli Ilmu yang tersebar dalam berbagai tempat yang saya rangkum dari
berbagai kitab tentang sunnah dan saya namakan : “Lamudduril Mantsur Minal
Qaulil Ma’tsur ”
Dan saya memohon kepada Allah yang Maha Agung Pemilik ‘Arsy
yang Mulia agar diberi taufiq dalam memilih nama yang sesuai dengan kedudukan
para imam pembawa petunjuk yang dengan mereka Allah memelihara Sunnah Nabi-Nya.
Sebagaimana saya juga meminta kepada-Nya ‘Azza wa Jalla agar risalah ini
bermanfaat bagi para pembaca dan menjadi amalan saya yang ikhlash mengharap
Wajah Allah Subhanahu wa Ta’ala semata dan sebagai sarana menyebarluaskan As
Sunnah dan pembuka mata bagi sesama saudara di jalan Allah yang tertutup dari
mereka sebagian besar ucapan ulama Salaf.
Termasuk tuntunan As Sunnah dan akhlak adalah membalas
kebaikan dengan mensyukuri dan mengakui kebaikan itu sebagaimana firman Allah :
"Tidak ada balasan kebaikan itu selain kebaikan
(juga).” (QS. Ar Rahman : 60)
Dan sabda Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam :
“Siapa mendatangimu dengan kebaikan balaslah, jika tidak
kamu dapatkan sesuatu untuk membalasnya maka doakanlah kebaikan untuknya sampai
kamu ketahui bahwa kamu telah membalasnya.” (HR. Abu Daud 1672 dan 5109, An
Nasa’i 2566, dan Ahmad 2/68)
Dan sabda beliau :
“Siapa yang tidak (dapat) bersyukur (berterima kasih kepada)
manusia maka ia tidak akan (dapat) bersyukur kepada Allah.” (HR. At Tirmidzy
1954 dan Ahmad 3/74)
Dan di sini saya bersyukur --setelah bersyukur kepada Allah
Ta’ala-- kepada saudara yang terhormat Abu Yasir, Raziq bin Hamid Al Qurasyi
yang telah memeriksa dan memperbaiki kesalahan cetakannya. Begitu pula dengan
kitab sebelumnya yaitu Al Ajwibah Al Mufidah Alal Asilah Al Martahij Al
Jadiidah dan kitab Al Aimmatul Abrar fil Hukmi Ala As Saharatil Asyrar. Semoga
Allah membalasnya atas bantuannya kepada saya dengan segenap kebaikan dan
--juga-- mereka yang ikut andil dalam mmembantu terselesaikannya urusan saya.
Akhirulkalam, sekali lagi saya memohon kepada Allah agar
melimpahkan taufiq kepada kita untuk dapat mengikuti sunnah Rasulullah
Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam dan mematikan kita di atasnya serta mengumpulkan
kita bersama para shahabat Rasulullah Muhammad Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam.
Akhir doa kita adalah Alhamdulillahi Rabbil Alamin.
Thaif, 10 Muharram 1417 H
Abu Abdillah Jamal bin Farihan Al Haritsi
BAB 1 : Berpegang Dengan Al Quran Dan As Sunnah, Mengikuti
Atsar Salafus Shalih, Dan Menjauhi Bid’ah
1. Allah Subhanahu wata’ala berfirman :
“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah
dengan sebenar-benar takwa dan janganlah kamu mati kecuali dalam keadaan
Muslim. Dan berpeganglah kamu semua dengan tali Allah dan jangan
berpecah-belah. Dan ingatlah nikmat Allah terhadapmu ketika kamu saling
bermusuhan maka Dia satukan hati kamu lalu kamu menjadi bersaudara dengan
nikmat-Nya dan ingatlah ketika kamu berada di bibir jurang neraka lalu Dia
selamatkan kamu daripadanya. Demikianlah Allah menjelaskan kepada kamu
ayat-ayat-Nya agar kamu mendapat petunjuk.” (QS. Ali Imran : 102-103)
2. Allah Subhanahu wata’ala berfirman :
“Dan sesungguhnya inilah jalan-Ku yang lurus maka ikutilah
dia dan jangan kamu ikuti jalan-jalan (lainnya) sebab jalan-jalan itu akan
mencerai-beraikan kamu dari jalan-Nya. Demikianlah Allah berwasiat kepada kamu
mudah-mudahan kamu bertaqwa.” (QS. Al An’am : 153)
3. Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam bersabda :
“Berpeganglah dengan sunnahku dan sunnah Khulafaur Rasyidin
yang terbimbing, gigitlah dengan gerahammu dan hati-hatilah kamu terhadap
perkara yang baru karena sesungguhnya setiap bid’ah itu adalah sesat.”
(HR. Ahmad 4/126, At Tirmidzy 2676, Al Hakim 1/96, Al
Baghawy 1/205 nomor 102)
4. Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam bersabda :
Sesungguhnya Allah meridlai tiga perkara untuk kamu --di
antaranya beliau bersabda-- : “ ... dan hendaknya kamu semua berpegang dengan
tali Allah.” (Hadits dikeluarkan oleh Al Baghawy 1/202 nomor 101)
5. Hudzaifah bin Al Yaman radliyallahu 'anhu berkata :
“Hai para Qari’ (pembaca Al Quran) bertaqwalah kepada Allah
dan telusurilah jalan orang-orang sebelum kamu sebab demi Allah seandainya kamu
melampaui mereka sungguh kamu melampaui sangat jauh dan jika kamu menyimpang ke
kanan dan ke kiri maka sungguh kamu telah tersesat sejauh- jauhnya.” (Al
Lalikai 1/90 nomor 119, Ibnu Wudldlah dalam Al Bida’ wan Nahyu ‘anha 17, As
Sunnah Ibnu Nashr 30)
6. Ibnu Mas’ud radliyallahu 'anhu berkata :
“Ikutilah dan jangan berbuat bid’ah! Sebab sungguh itu telah
cukup bagi kalian. Dan (ketahuilah) bahwa setiap bid’ah adalah sesat.” (Ibnu Nashr
28 dan Ibnu Wudldlah 17)
7. Imam Az Zuhry berkata, ulama kita yang terdahulu selalu
mengatakan :
“Berpegang dengan As Sunnah itu adalah keselamatan. Dan ilmu
itu tercabut dengan segera maka tegaknya ilmu adalah kekokohan Islam sedangkan
dengan perginya para ulama akan hilang pula semua itu (ilmu dan agama).” (Al
Lalikai 1/94 nomor 136 dan Ad Darimy 1/58 nomor 16)
8. Ibnu Mas’ud radliyallahu 'anhu berkata :
“Berpeganglah kamu dengan ilmu (As Sunnah) sebelum diangkat
dan berhati- hatilah kamu dari mengada-adakan yang baru (bid’ah) dan melampaui
batas dalam berbicara dan membahas suatu perkara, hendaknya kalian tetap
berpegang dengan contoh yang telah lalu.” (Ad Darimy 1/66 nomor 143, Al Ibanah
Ibnu Baththah 1/324 nomor 169, Al Lalikai 1/87 nomor 108, dan Ibnu Wadldlah 32)
9. Dan ia juga mengatakan bahwa :
“Sederhana dalam As Sunnah lebih baik daripada
bersungguh-sungguh di dalam bid’ah.” (Ibnu Nashr 30, Al Lalikai 1/88 nomor 114,
dan Al Ibanah 1/320 nomor 161)
10. Sa’id bin Jubair (murid dan shahabat Ibnu Abbas) berkata
--mengenai ayat- - : “Dan beramal shalih kemudian mengikuti petunjuk.” (QS.
Thaha : 82)
Yaitu senantiasa berada di atas As Sunnah dan mengikuti Al
Jama’ah. (Al Ibanah 1/323 nomor 165 dan Al Lalikai 1/71 nomor 72)
11. Imam Al Auza’i berkata :
“Kami senantiasa mengikuti sunnah kemanapun ia beredar.” (Al
Lalikai 1/64 nomor 47)
12. Imam Ahmad bin Hambal berkata :
“Berhati-hatilah kamu jangan sampai menulis masalah apapun
dari ahli ahwa’ sedikit atau pun banyak. Dan berpeganglah dengan Ahli Atsar dan
Sunnah.” (As Siyar 11/231)
13. Umar bin Abdul Aziz dalam risalahnya untuk salah seorang
aparatnya mengatakan :
Dari Umar bin Abdul Aziz Amirul Mukminin kepada Ady bin
Arthaah :
“Segala puji hanya bagi Allah yang tidak ada sesembahan yang
haq kecuali Dia.
Kemudian daripada itu :
Saya wasiatkan kepadamu, bertaqwalah kepada Allah dan
sederhanalah dalam (menjalankan) perintah-Nya dan ikutilah sunnah Nabi-Nya
Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam dan tinggalkanlah apa yang diada-adakan ahli
bid’ah terhadap sunnah yang telah berlalu dan tidak mendukungnya, tetaplah kamu
berpegang dengan sunnah karena sesungguhnya ia telah diajarkan oleh orang yang
tahu bahwa perkara yang menyelisihinya adalah kesalahan atau kekeliruan, kebodohan,
dan keterlaluan (ghuluw). Maka ridlailah untuk dirimu apa yang diridlai oleh
kaum itu (shahabat) untuk diri mereka sebab mereka sesungguhnya berhenti dengan
ilmu dan menahan diri dengan bashirah yang tajam dan mereka dalam menyingkap
hakikat segala perkara lebih kuat (mampu) apabila di dalamnya ada balasan yang
baik. Jika kamu mengucapkan bahwa ada suatu perkara yang terjadi sesudah mereka
maka ketahuilah tidak ada yang mengada-adakan sesuatu sesudah mereka melainkan
orang-orang yang mengikuti sunnah yang bukan sunnah mereka (shahabat) dan
menganggap dirinya tidak membutuhkan mereka. Padahal para shahabat itu adalah
pendahulu bagi mereka. Mereka telah berbicara mengenai agama ini dengan apa
yang mencukupi dan mereka telah jelaskan segala sesuatunya dengan penjelasan
yang menyembuhkan, maka siapa yang lebih rendah dari itu berarti kurang dan
sebaliknya siapa yang melampaui mereka berarti memberatkan. Maka sebagian
manusia ada yang telah mengurangi hingga mereka kaku sedangkan para shahabat
itu berada di antara keduanya yaitu di atas jalan petunjuk yang lurus.” (Asy
Syari’ah 212)
14. Ibnu Baththah berkata :
“Sungguh demi Allah, alangkah mengagumkannya kecerdasan kaum
itu, betapa jernihnya pikiran mereka, dan alangkah tingginya semangat mereka
dalam mengikuti sunnah nabi mereka dan kecintaan mereka telah mencapai
puncaknya hingga mereka sanggup untuk mengikutinya dengan cara seperti itu.
Oleh sebab itu ikutilah tuntunan orang-orang berakal seperti mereka ini --wahai
saudara- saudaraku-- dan telusurilah jejak-jejak mereka niscaya kalian akan
berhasil menang dan jaya.” (Al Ibanah 1/245)
15. Ibnu Abbas radliyallahu 'anhuma berkata :
“Tetaplah kamu beristiqamah dan berpegang dengan atsar serta
jauhilah bid’ah.” (Al I’tisham 1/112)
16. Al Auza’i berkata :
“Berpeganglah dengan atsar Salafus Shalih meskipun seluruh
manusia menolakmu dan jauhilah pendapatnya orang-orang (selain mereka) meskipun
mereka menghiasi perkataannya terhadapmu.” (Asy syari’ah 63)
BAB 2 : Perintah Komitmen Dengan Jamaah Muslimin dan Imam
Mereka Serta Peringatan Bahayanya Perpecahan
17. Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam bersabda :
“Barangsiapa yang memisahkan diri dari Al Jamaah sejengkal
saja maka ia telah menanggalkan ikatan Islam dari lehernya.” (As Sunnah Ibnu
Abi Ashim dan dishahihkan Syaikh Al Albani 892 dan 1053)
18. Beliau Shallallahu'alaihi wasallam bersabda :
“Barangsiapa yang mati tanpa mempunyai imam maka ia mati
dalam keadaan jahiliyyah.” (As Sunnah Ibnu Abi Ashim dihasankan Syaikh Al
Albani 1057)
19. Beliau Shallallahu'alaihi wasallam bersabda :
“Tetaplah kamu bersama Al Jamaah dan jauhilah perpecahan,
sesungguhnya syaithan selalu bersama orang yang sendirian dan ia lebih jauh
dari yang berdua dan siapa yang ingin tinggal di tengah-tengah kebun surga maka
hendaknya tetap berpegang dengan Al Jamaah.” (Shahih As Sunnah Ibnu Abi Ashim
88)
20. Beliau Shallallahu'alaihi wasallam bersabda :
“Berjamaah itu rahmat dan perpecahan itu adzab.” (Hadits
hasan dalam As Sunnah Ibnu Abi Ashim 93)
21. Beliau Shallallahu'alaihi wasallam bersabda :
“Barangsiapa yang keluar dari ketaatan dan meninggalkan Al
Jamaah maka ia mati dalam keadaan jahiliyah.” (Hadits shahih dalam As Sunnah
Ibnu Abi Ashim 93 dan 1064)
22. Beliau Shallallahu'alaihi wasallam bersabda :
“Tiga hal yang tidak ditanya dari mereka yaitu seseorang
yang memisahkan diri dari Al Jamaah dan orang yang mendurhakai imamnya dan mati
dalam keadaan maksiat.” (Hadits shahih dalam As Sunnah Ibnu Abi Ashim 89, 100,
dan 1060)
23. Mu’adz bin Jabal radliyallahu 'anhu berkata :
“Tangan Allah ada di atas Al Jamaah, maka siapa menyimpang
maka Allah tidak akan mempedulikan dia dengan penyimpangannya itu.” (Al Ibanah
1/289 nomor 119)
24. Ibnu Mas’ud radliyallahu 'anhu berkata :
“Hai manusia, tetaplah kalian taat dan berada dalam Al
Jamaah karena sesungguhnya itu adalah tali Allah yang Ia perintahkan berpegang
dengannya dan sesungguhnya apapun yang tidak disukai dalam jamaah jauh lebih
baik daripada apapun yang disukai di dalam perpecahan.” (Al Ibanah 1/297 nomor
133)
25. Al Auza’i berkata :
“Dikatakan bahwa terdapat lima hal yang shahabat Muhammad
Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam dan para tabi’in di atasnya, di antaranya
menetapi Al Jamaah.” (Al Lalikai 1/64 nomor 48)
BAB 3 : Perintah Mentaati Dan Memuliakan Penguasa Serta
Tidak Memberontak Kepadanya
26. Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam bersabda :
“Meskipun kamu diperintah oleh budak Habsyi yang (jelek)
terpotong hidungnya tetaplah kamu mendengar dan mentaatinya selama ia
memimpinmu dengan Kitab Allah.” (Hadits shahih dalam As Sunnah Ibnu Abi Ashim
1062)
27. Beliau Shallallahu'alaihi wasallam bersabda :
“Barangsiapa yang mentaatiku berarti ia mentaati Allah dan
siapa yang bermaksiat kepadaku maka ia bermaksiat kepada Allah dan siapa yang
taat kepada amirnya (pemimpin/penguasa) berarti ia mentaatiku dan siapa yang
bermaksiat kepada amirnya (pemimpin/penguasa) maka ia berarti bermaksiat
kepadaku dan amirnya adalah tameng.” (Hadits shahih dalam As Sunnah Ibnu Abi
Ashim 1065- 1068)
(Menurut Imam Al Qurthuby yang dinukil oleh Imam As Suyuthi
dalam Kitab Az Zahrur Riba, arti tameng di sini adalah ia (amir itu) diikuti
pendapat dan pandangannya dalam beberapa peraturan dalam menghadapi keadaan
yang mengkhawatirkan, pent.)
28. Dari Ady bin Hatim ia berkata, kami berkata :
“Ya Rasulullah, kami tidak bertanya tentang ketaatan kepada
orang yang bertaqwa tapi (bagaimana) terhadap orang yang berbuat begini dan
begitu -- ia menyebut berbagai kejelekan--.” Beliau berkata : “Bertaqwalah kamu
kepada Allah dan tetaplah kamu mendengar dan mentaatinya.” (Hadits shahih dalam
As Sunnah Ibnu Abi Ashim 1069)
29. Dari Abi Sa’id Al Khudri ia berkata, Rasulullah
Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam bersabda :
“Akan ada nanti para pemimpin yang kulit menjadi lunak
terhadap mereka sedangkan hati tidak tenteram kemudian akan ada pula para
pemimpin yang hati manusia gemetar karena mereka dan bulu kuduk berdiri karena
(takut) kepada mereka.” Lalu ada yang bertanya : “Ya Rasulullah apakah tidak
diperangi saja mereka?” Beliau Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam menjawab : “Tidak,
selama mereka menegakkan shalat.” (Hadits shahih dalam As Sunnah Ibnu Abi Ashim
nomor 1077)
30. Dari Abu Dzar radliyallahu 'anhu ia berkata :
Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam mendatangiku ketika
saya di mesjid lalu beliau menyentuhku dengan kakinya dan bersabda : “Apakah
kamu sedang tidur di tempat ini?” Saya menjawab : “Wahai Rasulullah, mataku
mengalahkanku.” Beliau bersabda : “Bagaimana jika kamu diusir dari sini?” Maka
saya menjawab : “Sungguh saya akan memilih tanah Syam yang suci dan diberkahi.”
Beliau bertanya lagi : “Bagaimana jika kamu diusir dari Syam?” Saya berkata :
“Apa yang harus saya lakukan? Apakah saya perangi dia, ya Rasulullah?” Beliau
Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam menjawab : “Maukah aku tunjukkan jalan yang lebih
baik dari tindakan itu dan lebih dekat kepada petunjuk --beliau ulangi dua
kali--? Yaitu kamu dengar dan taati, kamu akan digiring kemanapun mereka
menggiringmu.” (Hadits shahih dalam As Sunnah Ibnu Abi Ashim 1074)
31. Dari Mu’awiyah bin Abi Sufyan ia berkata, ketika Abu
Dzar keluar menuju Rabdzah, serombongan pengendara dari Iraq menemuinya lalu
berkata :
“Hai Abu Dzar, apa yang menimpamu telah sampai kepada kami,
pancangkanlah bendera jihad (berontak) niscaya akan datang kepadamu orang-orang
berapapun kamu kehendaki.” Ia berkata : [Tenanglah hai kaum Muslimin,
sesungguhnya saya telah mendengar Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam
bersabda :
“Akan ada sesudahku nanti penguasa maka hormatilah dia, barangsiapa
yang mencari-cari kesalahannya maka ia berarti benar-benar merobohkan
sendi-sendi Islam dan tidak akan diterima taubatnya sampai mengembalikannya
seperti semula.”] (Hadits shahih dalam As Sunnah Ibnu Abi Ashim nomor 1079)
32. Dari Qathn Abul Haitsami ia berkata bahwa Abu Ghalib
bercerita kepada kami, saya berada di sisi Abu Umamah ketika seseorang berkata
kepadanya :
“Apa pendapat Anda mengenai ayat :
Dia-lah yang telah menurunkan kepadamu Al Kitab di antaranya
(berisi) ayat-ayat yang muhkam itulah Ummul Kitab dan ayat lainnya adalah ayat
mutasyabihat. Maka adapun orAng-orang yang dalam hati mereka ada zaigh (condong
kepada kesesatan) maka mereka akan mengikuti ayat-ayat yang mutasyabihat. (QS.
Ali Imran : 7)
Siapakah mereka (orang yang di hatinya terdapat zaigh) ini?”
Ia berkata : “Mereka adalah Khawarij, --beliau melanjutkan-- dan tetaplah kamu
beriltizam (komitmen) dengan As Sawadul A’zham.” Saya berkata : “Engkau telah
mengetahui apa yang ada pada mereka (penguasa).” Ia menjawab : “Kewajiban
mereka adalah apa yang dibebankan kepada mereka dan kewajiban kamu adalah apa
yang dibebankan kepadamu, taatilah mereka niscaya kamu akan mendapat petunjuk.”
(As Sunnah Ibnu Nashr 22 nomor 55)
33. Dari Daud bin Abil Furat ia berkata, Abu Ghalib bercerita
kepadaku bahwa Abu Umamah bercerita bahwa Bani Israil terpecah menjadi 71
golongan dan ummat ini lebih banyak satu golongan dari mereka, semua di neraka
kecuali As Sawadul A'zham, yakni Al Jamaah. Saya berkata:
“Terkadang dapat diketahui apa yang ada pada As Sawadul
A'zham --di masa Khalifah Abdul Malik bin Marwan--.” Ia berkata : “Ketahuilah,
sungguh demi Allah saya benar-benar tidak suka perbuatan mereka namun bagi
kewajiban mereka adalah apa yang dibebankan kepada mereka dan kewajibanmu
adalah apa yang dibebankan kepadamu, di samping itu mendengar dan taat kepada
mereka lebih baik daripada durhaka dan bermaksiat kepada mereka.” (As Sunnah
Ibnu Nashr 22 nomor 56)
34. Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam bersabda :
“Barangsiapa yang memuliakan penguasa (yang dijadikan) Allah
Yang Maha Suci dan Maha Tinggi di dunia maka Allah memuliakannya pada hari
kiamat dan siapa yang menghinakan penguasa Allah Yang Maha Suci dan Maha Tinggi
di dunia maka Allah hinakan dia pada hari kiamat.” (Ash Shahihah Al Albani
2297)
35. Beliau Shallallahu'alaihi wasallam bersabda :
“Lima perkara, barangsiapa yang mengamalkan salah satunya ia
mendapat jaminan dari Allah Azza wa Jalla, yaitu (antara lain) barangsiapa yang
masuk kepada imam (pemimpinnya) untuk memuliakan dan menghormatinya.” (Hadits
shahih dalam As Sunnah Ibnu Abi Ashim 1021)
36. Dari Ubadah bin Ash Shamit radliyallahu 'anhu dari Nabi
Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam (beliau) bersabda :
“Dengar dan taatilah mereka baik --dalam-- kesulitan atau
kemudahan, gembira dan tidak suka, dan (meskipun) mereka bersikap egois
(sewenang-wenang) terhadapmu, walaupun mereka memakan hartamu dan memukul
punggungmu.” (Ibid, dishahihkan Al Albani 1026)
37. Dari Rabi’i bin Harrasy ia berkata, saya mendatangi
Hudzaifah radliyallahu 'anhu di Madain pada malam hari ketika banyak orang yang
mendatangi Utsman bin Affan radliyallahu 'anhu maka ia berkata :
“Hai Rabi’i! Apa yang dilakukan kaummu?” Saya menjawab :
“Tentang kejadian mana yang Anda tanyakan?” Ia berkata : “Tentang siapa di antara
mereka yang keluar (unjuk rasa/memberontak) kepada orang itu (Utsman)?” Maka
saya sebutkan nama-nama beberapa orang di antara mereka. Lalu kata Hudzaifah :
“Saya mendengar Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam bersabda :
Barangsiapa yang memisahkan diri dari Al Jamaah dan
merendahkan pemerintah maka ia akan menemui Allah Azza wa Jalla dalam keadaan
tidak mempunyai muka lagi --dalam lafaz Adz Dzahabi, tidak mempunyai hujjah--.”
(HR. Ahmad 5/387, Al Hakim menshahihkannya, dan disetujui Adz Dzahabi 1/119)
38. Imam Al Barbahary berkata, Imam Ahmad bin Hanbal
mengatakan :
“Dengar dan taatilah para pemimpin dalam perkara yang
dicintai dan diridlai Allah! Dan siapa yang diserahi jabatan kekhalifahan
dengan kesepakatan dan keridlaan manusia kepadanya maka ia adalah Amirul
Mukminin. Tidak halal bagi siapapun untuk berdiam satu malam dalam keadaan
tidak menganggap adanya imam baik orang yang shalih ataupun durhaka.” (Thabaqat
Hanabilah 2/21 dan Syarhus Sunnah 77-78)
Kata Syaikh Jamal bin Farihan, ijma’ (kesepakatan manusia
dan keridlaan mereka) di sini maksudnya adalah manusia dari kalangan Ahlul Hali
wal ‘Aqdi (ulama mujtahid) bukan seluruh rakyat yang di dalamnya banyak
terdapat orang-orang yang bodoh. Maka perhatikanlah hal ini!
39. Kata beliau (dalam Syarhus Sunnah hal 77-78) :
“Barangsiapa yang keluar (demonstrasi/memberontak) kepada
imam kaum Muslimin maka ia Khawarij dan sungguh mereka telah mematahkan
tongkatnya kaum Muslimin, menyelisihi atsar maka mereka mati dalam keadaan
jahiliyyah.”
40. Dan kata beliau lagi :
“Tidak halal memerangi (memberontak) kepada penguasa dan
keluar (demonstrasi) terhadap mereka meskipun mereka jahat karena tidak ada
dalam As Sunnah (tuntunan) memerangi penguasa sebab yang demikian mengakibatkan
kerusakan dunia dan agama.”
BAB 4 : Bersabar Atas Kejahatan Penguasa
41. Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam bersabda :
“Barangsiapa yang melihat pada amirnya terdapat satu hal
yang dia benci hendaknya ia (tetap) bersabar.” (Hadits dalam As Sunnah Ibnu Abi
Ashim 1101)
42. Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam bersabda :
“Adapun sesudah itu, sesungguhnya kamu akan melihat sikap
atsarah (egois dan suka melebihkan orang lain selain kamu) maka bersabarlah
sampai kamu berjumpa denganku.” (Ibid 1102)
BAB 5 : Tanda-Tanda Ahlus Sunnah
43. Imam Al Barbahary berkata :
“Jika kamu lihat seseorang mencintai Abu Hurairah, Anas bin
Malik, dan Usaid bin Hudlair radliyallahu 'anhum maka ketahuilah bahwa ia
pengikut sunnah --Insya Allah-- dan jika kamu lihat seseorang mencintai Ayyub,
Ibnu ‘Aun, Yunus bin ‘Ubaid, ‘Abdullah bin Idris Al Audi, Asy Sya’bi, Malik bin
Mighwal, Yazid bin Zurai, Mu’adz bin Mu’adz, Wahb bin Jarir, Hammad bin
Salamah, Hammad bin Zaid, Malik bin Anas, Al Auza’i, dan Zaidah bin Qudamah
maka ketahuilah bahwa ia pengikut sunnah begitu pula jika ada seseorang
mencintai Ahmad bin Hanbal, Al Hajjaj bin Al Minhal, Ahmad bin Nashr serta
menyebut kebaikan mereka dan berpendapat dengan pendapat mereka maka ketahuilah
ia adalah seorang Sunni.” (Syarhus Sunnah 119-121)
Saya (Jamal bin Farihan) mengatakan, dan jika kamu melihat
pada masa kini ada seseorang yang mencintai para ulama di negeri ini (Saudi)
dan negeri lainnya yang berpegang teguh dengan As Sunnah dan manhaj Salafus
Shalih serta berpendapat dengan pendapat mereka maka ketahuilah bahwa ia adalah
seorang Sunniy.
44. Kata beliau (ibid 107) :
“Dan siapa yang mengetahui apa yang dibuang dan ditinggalkan
ahli bid’ah dari Sunnah ini dan ia justru berpegang teguh dengannya maka ia
adalah pengikut Ahlus Sunnah wal Jamaah dan ia berhak untuk diikuti
(diteladani), dibantu, dan dijaga bahkan dia termasuk yang dipesankan oleh Nabi
Muhammad Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam.
45. Dan kata beliau (ibid 116) :
“Dan jika kamu lihat seseorang mendoakan kebaikan untuk
penguasa maka ketahuilah bahwa ia adalah pengikut Sunnah --Insya Allah--.”
Saya katakan ringkasnya : “Jika kamu lihat seseorang
mencintai Ahli Sunnah di mana pun berada dan benci kepada ahli bid’ah dan ahli
ahwa’ di manapun mereka menetap dan berpindah maka ketahuilah ia adalah Ahlus
Sunnah.”
46. Abu Hatim berkata :
“Jika kamu lihat seseorang mencintai Imam Ahmad ketahuilah
ia adalah pengikut Sunnah.” (As Siyar 11/198)
47. Dari Ja’far bin Muhammad ia berkata, saya mendengar
Qutaibah berkata :
“Apabila kamu melihat seseorang mencintai Ahli Hadits
seperti Yahya bin Sa’id dan Abdurrahman bin Mahdi dan Ahmad bin Hanbal serta
Ishaq bin Rahawaih --ia menyebut beberapa orang lagi-- maka ketahuilah bahwa ia
berada di atas Sunnah dan siapa yang menyelisihi mereka maka ketahuilah bahwa
ia seorang mubtadi’ (ahli bid’ah).” (Al Lalikai 1/67 nomor 59)
BAB 6 : Tanda-Tanda Ahli Bid’ah Dan Ahli Ahwa’
48. Ayyub As Sikhtiyani berkata :
“Saya tidak mengetahui ada seseorang dari ahli ahwa’ yang
berdebat kecuali dengan perkara (ayat) mutasyabihat.” (Al Ibanah 2/501, 605,
609)
49. Imam Al Barbahary berkata :
“Jika kamu lihat seseorang mencela salah seorang shahabat
Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam maka ketahuilah bahwa sesungguhya dia
telah mengucapkan kata-kata yang buruk dan termasuk ahli ahwa’.” (Halaman 115
nomor 133)
50. Ia juga berkata :
“Jika kamu mendengar seseorang mencerca atsar
(hadits-hadits), menolaknya, dan menginginkan selain itu maka curigailah keislamannya
dan jangan kamu ragu bahwa ia adalah pengikut hawa nafsu dan mubtadi’.” (Ibid
115-116 nomor 134)
51. Kata beliau juga :
“Jika kamu lihat seseorang mendoakan kejelekan terhadap
penguasa maka ketahuilah bahwa ia adalah pengikut hawa nafsu.” (Ibid 116 nomor
136)
52. Abu Hatim berkata :
“Salah satu tanda ahli bid’ah adalah adanya cercaan mereka
terhadap Ahli Atsar.” (Al Lalikai 1/179)
Abu Abdillah Jamal berkata : “Jika kamu lihat seseorang mencerca
ulama As Sunnah dan manhaj Salafus Shalih di negeri ini dan lainnya maka
ketahuilah bahwa ia adalah pengikut hawa.”
53. Ibnul Qaththan berkata :
“Tidak ada di dunia ini seorang mubtadi’ melainkan sangat
membenci Ahli Hadits.” (Aqidah Salaf Ash Shabuni 102 nomor 163)
54. Imam Ash Shabuni berkata :
Dan tanda-tanda ahli bid’ah itu sangat jelas terlihat pada
mereka dan salah satu tanda yang paling menonjol adalah kerasnya permusuhan
mereka terhadap para pembawa berita dari Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa
Sallam, menghina, dan meremehkan mereka.” (Ibid 101 nomor 162)
55. Dari Qutaibah bin Sa’id berkata :
“Apabila kamu lihat seseorang mencintai Ahli Hadits maka
ketahuilah bahwa ia di atas As Sunnah dan siapa yang menyelisihi perkara ini
maka ketahuilah bahwa ia adalah mubtadi’.” (Muqaddimah muhaqqiq Kitab Syi’ar
Ashhabul Hadits lil Hakim 7)
BAB 7 : Sebab-Sebab Hilangnya Agama
56. Abdullah bin Ad Dailamy berkata :
“Sesungguhnya sebab pertama hilangnya agama ini adalah
meninggalkan As Sunnah. Agama ini akan hilang sunnah demi sunnah sebagaimana
lepasnya tali seutas demi seutas.” (Al Lalikai 1/93 nomor 127, Ad Darimy 1/58
nomor 97, dan Ibnu Wadldlah dalam Al Bida’ 73)
57. Ia juga berkata, saya mendengar Amru berkata :
“Tidaklah dilakukan suatu bid’ah melainkan akan bertambah
cepat berkembangnya dan tidaklah ditinggalkan As Sunnah kecuali bertambah cepat
hilangnya.” (Al Lalikai 1/93 nomor 128 dan Ibnu Wadldlah 73)
58. Dari Abdullah bin Mas’ud radliyallahu 'anhu ia berkata :
“Ketahuilah hendaknya jangan satupun dari kalian bertaqlid
kepada siapapun dalam perkara agamamu sehingga (bila) ia beriman ikut beriman
bila ia kafir ikut pula menjadi kafir. Maka jika kamu tetap ingin berteladan
maka ambillah contoh dari yang telah mati sebab yang masih hidup tidak aman
dari fitnah.” (Al Lalikai 1/93 nomor 130 dan Al Haitsamy dalam Al Majma’ 1/180)
59. Al Auza’i menyebutkan dari Hassan bin Athiyyah, ia
berkata :
“Tidaklah suatu kaum berbuat satu bid’ah dalam Dien mereka
melainkan Allah cabut dari mereka satu Sunnah yang semisalnya dan tidak akan
kembali kepada mereka sampai hari kiamat.” (Ad Darimy 1/58 nomor 98)
60. Dari Yunus bin Zaid dari Az Zuhri ia berkata :
“Ulama kami yang terdahulu selalu mengingatkan bahwa
berpegang teguh dengan As Sunnah itu adalah keselamatan dan ilmu akan tercabut
dengan segera maka tegaknya ilmu adalah kekokohan agama dan dunia sedang dengan
hilangnya ilmu hilang pula semuanya.” (Ad Darimy 1/58 nomor 16)
BAB 8 : Jeleknya Ahli Ahwa’ dan Ahli Bid’ah
61. Dari Abi Hurairah radliyallahu 'anhu ia berkata,
Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam bersabda:
“Akan ada di akhir zaman nanti para dajjal dan pendusta,
mereka mendatangimu dengan hadits-hadits yang belum pernah didengar oleh kamu
dan bapak-bapak kamu maka hati-hatilah kamu dari mereka, mereka jangan sampai
menyesatkan kamu dan menimbulkan fitnah terhadapmu.” (HR. Muslim dalam
Muqaddimah 7)
62. Dari Khalid bin Sa’d ia berkata bahwa menjelang wafatnya
Hudzaifah bin Al Yaman datang kepadanya Abu Mas’ud Al Anshary --radliyallahu
anhuma-- lalu berkata :
“Hai Abu Abdillah, berpesanlah untuk kami.” Hudzaifah
berkata : “Bukankah telah datang kepadamu perkara yang yaqin, ketahuilah
sesungguhnya kesesatan itu benar-benar kesesatan kalau kamu anggap ma’ruf
(baik) apa yang sebelumnya kamu ingkari dan mengingkari apa yang telah kamu
ketahui, hati-hatilah kamu dari sikap berbeda-beda (berpecah-belah, pent.)
dalam agama Allah karena sesungguhnya agama Allah ini hanya satu.” (Al Hujjah
fi Bayanil Mahajjah 1/33 dan Al Lalikai 1/90 nomor 120)
63. Dari Abi Qilabah dari Zaid bin Umairah ia berkata,
Mu’adz bin Jabbal berkata :
“Hai manusia, sesungguhnya akan terjadi fitnah yang pada
waktu itu harta benda berlimpah, Al Quran terbuka (tersebar) hingga mudah
dibaca oleh seorang Mukmin, munafiq, pria dan wanita, anak-anak kecil maupun
orang dewasa sampai-sampai seseorang berkata:
‘Kita telah membaca Al Quran tapi tidak ada yang mau
mengikuti, tidakkah sebaiknya kita bacakan terang-terangan kepada mereka?’
Maka mereka membacanya terang-terangan dan tetap tidak ada
satupun yang mengikutinya maka ia berkata:
‘Saya telah membacanya terang-terangan tidak ada juga yang
mengikutiku.’
Lalu ia membangun tempat shalat di rumahnya lalu mengucapkan
perkataan bid’ah yang bukan dari Kitab Allah bahkan tidak juga dari Sunnah
Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam maka hati-hatilah kamu dari bid’ahnya
karena sesungguhnya bid’ah itu sesat.” (Al Lalikai 1/89 nomor 117, Al Hujjah
1/303, Ibnu Wadldlah 33, dan Abu Daud 4611)
64. Dari Ashim Al Ahwal ia berkata, Abul Aliyah berkata :
“Pelajarilah Al Islam! Maka jika telah kamu pelajari
janganlah kamu membencinya dan tetaplah kamu di atas shirathal mustaqim karena
itulah sesungguhnya Al Islam dan jangan kamu menyimpang ke kanan dan ke kiri.
Dan berpeganglah dengan Sunnah Nabimu Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam dan apa
yang dipegang oleh kaum Muslimin sebelum mereka membunuh shahabat mereka
sendiri (Utsman bin Affan) dan sebelum mereka berbuat apa yang telah mereka
perbuat. Maka sesungguhnya kami telah membaca Al Quran sebelum mereka
berselisih (saling memerangi) dan sebelum mereka melakukan apa yang telah
mereka lakukan selama 15 tahun. Dan berhati-hatilah kamu dari hawa nafsu ini
yang senantiasa menimbulkan permusuhan dan kebencian di tengah-tengah manusia.”
Kemudian saya sampaikan hal ini kepada Al Hasan Al Bashry,
katanya :
“Ia benar dan telah memberi nasihat.”
Dan saya ceritakan pula kepada Hafshah bintu Sirin, katanya
:
“Keluargaku tebusanmu, apakah telah kau sampaikan kepada
Muhammad (Ibnu Sirin) cerita ini?”
Saya menjawab tidak (belum). Lalu katanya :
“Jika begitu sampaikanlah kepadanya!” (As Sunnah Ibnu Nashr
13 nomor 26, Al Ibanah 1/299 nomor 136, Al Lalikai 1/56, 127 nomor 17, 214)
BAB 9 : Peringatan Bahayanya Duduk Dengan Ahli Bid’ah dan
Ahli Ahwa serta Bergaul dan Berjalan Bersama Mereka
65. Al Fudlail bin Iyyadl berkata :
“Siapa yang duduk dengan ahli bid’ah maka berhati-hatilah
darinya dan siapa yang duduk dengan ahli bid’ah tidak akan diberi Al Hikmah.
Dan saya ingin jika antara saya dan ahli bid’ah ada benteng dari besi yang
kokoh. Dan saya makan di samping yahudi dan nashrani lebih saya sukai daripada
makan di sebelah ahli bid’ah.” (Al Lalikai 4/638 nomor 1149)
66. Hanbal bin Ishaq berkata, saya mendengar Abu Abdillah
(Imam Ahmad) berkata :
“Tidak pantas seseorang itu bersikap ramah kepada ahli
bid’ah, duduk dan bergaul dengan mereka.” (Al Ibanah 2/475 nomor 495)
67. Dari Habib bin Abi Az Zabarqan ia berkata, Muhammad bin
Sirin apabila mendengar ucapan ahli bid’ah, menutup telinganya dengan jarinya
kemudian berkata :
“Tidak halal bagiku mengajaknya berbicara sampai ia berdiri
dan meninggalkan tempat duduknya.” (Al Ibanah 2/473 nomor 484)
68. Seorang ahli ahwa’ berkata kepada Ayyub As Sikhtiyani :
“Hai Abu Bakr, saya ingin bertanya tentang satu kalimat.”
Beliau menukas --sambil berisyarat dengan jarinya-- :
“Tidak, meskipun setengah kalimat. Tidak, meskipun setengah
kalimat.” (Al Ibanah 2/447 nomor 402)
69. Imam Ahmad berkata dalam risalahnya untuk Musaddad :
“Jangan kamu bermusyawarah dengan ahli bid’ah dalam urusan
agamamu dan jangan jadikan dia teman dalam safarmu (bepergian).” (Al Adabus
Syari’ah Ibnu Muflih 3/578)
70. Ibnul Jauzy berkata :
“Allah, Allah. Janganlah berteman dengan mereka ini (ahli
bid’ah). Dan wajib kamu cegah anak-anak kecil bergaul dengan mereka agar jangan
terpatri sesuatu (perkara bid’ah) dalam hati mereka dan jadikan mereka sibuk
(mempelajari) hadits- hadits Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam agar
watak mereka terbentuk di atasnya.” (Ibid 3/577-578)
71. Imam Al Barbahary berkata :
“Apabila tampak bagimu satu perkara bid’ah pada seseorang
maka jauhilah dia sebab sesungguhnya yang dia sembunyikan darimu jauh lebih
banyak dari yang dia tampakkan.” (Syarhus Sunnah 123 nomor 148)
72. Dan kata beliau :
“Perumpamaan ahli bid’ah itu seperti kalajengking, mereka
menyembunyikan kepala dan badan mereka di dalam tanah dan mengeluarkan ekornya
maka jika mereka telah mantap dengan posisinya maka mereka menyengat mangsanya.
Demikian pula ahli bid’ah, mereka menyembunyikan bid’ah di tengah-tengah
manusia lalu apabila mereka telah mantap dengan kedudukannya mereka sampaikan
apa yang mereka inginkan.” (Thabaqat Hanabilah 2/44)
Saya (Jamal bin Farihan) katakan, demikianlah keadaan
Ikhwanul Muslimin (dan kelompok dakwah sempalan lainnya, pent.) mereka mencari
kedudukan dan jika telah mantap posisi mereka maka mulailah mereka melancarkan
tindakan-tindakan dalam menyelisihi Ahlus Sunnah.
BAB 10 : Peringatan Salafus Shalih Akan Bahayanya Bergaul
Dengan Ahli Bid’ah dan Menyebut Nama Tokoh-Tokoh Mereka Bukan Ghibah
73. Abu Nu’aim berkata, Sufyan Ats Tsauri memasuki mesjid
pada hari Jum’at, tiba- tiba ia melihat Al Hasan bin Shalih bin Hayy sedang
shalat, beliau berkata :
“Kami berlindung kepada Allah dari khusyuknya munafiq.”
Lalu beliau mengambil sandalnya dan berpindah.
Katanya lagi --juga dari Ats Tsauri-- : “Dia itu adalah
orang yang menganggap bolehnya menumpahkan darah ummat.” (At Tahdzib 2/249
nomor 516)
74. Bisyr bin Al Harits berkata, Zaidah biasa duduk di
masjid memperingatkan manusia dari Ibnu Hayy dan shahabat-shahabatnya, katanya
:
“Mereka itu menganggap halal menumpahkan darah kaum
Muslimin.” (Ibid)
75. Abu Shalih Al Farra’ berkata, saya menyampaikan kepada
Yusuf bin Asbath dari Waki’ mengenai perkara fitnah, ia berkata :
“Dia --Al Hasan bin Hayy-- itu seperti gurunya.”
Lalu saya berkata kepada Yusuf :
“Apakah kamu tidak takut kalau ini ghibah?”
Ia menjawab :
“Mengapa, hai bodoh? Saya lebih baik terhadap mereka
dibanding bapak ibu mereka. Saya mencegah manusia beramal dengan apa yang
mereka ada-adakan agar manusia tidak mengikuti pula dosa-dosa mereka itu dan
orang yang menyanjung mereka justru jauh lebih berbahaya daripada mereka.”
(Ibid)
76. Abdullah bin (Al Imam) Ahmad bin Hanbal berkata, saya
mendengar ayahku berkata : “Barangsiapa yang mengatakan ucapanku (lafadhku)
dengan Al Quran adalah makhluk maka ini adalah ucapan yang sangat jelek dan
rendah dan ini adalah perkataan orang-orang Jahmiyyah.”
Saya katakan padanya : “Sesungguhnya Husain Al Karabisiy
mengatakan hal ini.”
Beliau berkata : “Dia dusta, semoga Allah membuka aibnya
yang jelek itu. Sungguh ia telah menggantikan Bisyr Al Marisiy.” (As Sunnah li
Abdillah 1/165-166 nomor 186-188)
77. Kata beliau juga :
“Saya bertanya kepada Abu Tsaur Ibrahim bin Khalid Al Kalbiy
tentang Husain Al Karabisiy lalu beliau berkata dengan ucapan yang jelek dan
rendah tentang Husain.” (Ibid)
78. Abdullah berkata --lagi-- :
“Saya bertanya kepada Al Hasan bin Muhammad Az Za’farani
tentang Husain Al Karabisiy ternyata ia mengatakan hal yang sama dengan Abu
Tsaur.” (Ibid)
79. Imam Ahmad berkata :
“Bisyr Al Marisiy telah mati dan ia digantikan oleh Husain
Al Karabisiy.” (Tarikh Baghdad 8/66)
80. Dari Muhammad bin Al Hasan bin Harun Al Maushuly ia
berkata, saya bertanya kepada Abu Abdillah Ahmad bin Hanbal tentang ucapan Al
Karabisiy :
“Ucapanku dengan Al Quran adalah makhluk.”
Maka beliau berkata kepadaku :
“Hai Abu Abdillah, hati-hatilah kamu, hati-hatilah kamu
terhadap Al Karabisiy, jangan ajak dia bicara dan jangan pula kamu ajak bicara
orang yang bicara dengannya.”
Beliau ucapkan 4 atau 5 kali. (Ibid 8/65)
81. Sampai berita kepada Umar bin Al Khaththab radliyallahu
'anhu bahwa ada seorang laki-laki yang terkumpul pada dirinya beberapa perkara
bid’ah maka beliau melarang manusia duduk dengannya. (Majmu’ Fatawa 35/414)
Ibnu Taimiyyah berkata : “Maka apabila seseorang bergaul
dengan orang yang jahat secara rahasia tetap harus diperingatkan manusia
darinya.” (Ibid)
82. Ayyub As Sikhtiyani berkata, Abu Qilabah berkata
kepadaku :
“Jangan beri kesempatan ahli ahwa’ itu mendengar sesuatu
dari kamu nanti ia akan melontarkan terhadapnya apa yang mereka kehendaki.” (Al
Lalikai 1/134 nomor 246 dan Al Ibanah 2/445 nomor 397)
83. Utsman bin Zaidah berkata, Sufyan (Ats Tsauri) berwasiat
kepadaku :
“Janganlah kamu bergabung dengan ahli bid’ah.” (Al Ibanah
2/463 nomor 452-456)
84. Al Faryabi berkata :
“Sufyan Ats Tsauri selalu melarangku duduk dengan si Fulan
--yaitu seorang ahli bid’ah--.” (Ibid)
85. Ibnul Mubarak berkata :
“Hati-hatilah kamu jangan sampai duduk dengan ahli bid’ah.”
(Ibid)
86. Muqatil bin Muhammad berkata, Abdurrahman bin Mahdi
berkata kepadaku :
“Hai Abul Hasan, janganlah kamu duduk dengan ahli bid’ah ini
sesungguhnya mereka senantiasa berfatwa tentang perkara yang Malaikat tidak
mampu (menuliskannya).” (Ibid)
87. Al Fudlail bin Iyyadl berkata :
“Saya telah mendapatkan bahwa sebaik-baik manusia seluruhnya
adalah Ahli Sunnah dan mereka senantiasa melarang bergaul dengan ahli bid’ah.”
(Al Lalikai 1/138 nomor 267)
88. Yahya bin Abi Katsir berkata :
“Kalau kamu bertemu ahli bid’ah di suatu jalan maka ambillah
jalan lain.”
Begitu pula kata Al Fudlail bin Iyyadl. (Al I’tisham 1/172,
Al Ibanah 2/474-475 nomor 490 dan 493, Ibnu Wudldlah dalam Al Bida’ 55, Asy
Syari’ah 67, dan Al Lalikai 1/137 nomor 259)
89. Abu Qilabah berkata :
“Janganlah kamu duduk bersama ahli ahwa’ dan jangan
berdialog dengan mereka sebab sesungguhnya saya tidak aman kalau-kalau mereka
membenamkan kamu dalam kesesatan mereka atau mengaburkan apa-apa yang telah
kamu ketahui.” (Al Bida’ 55, Al I’tisham 1/172, Al Lalikai 1/134 nomor 244, Ad
Darimy 1/120 nomor 391, Al Ibanah 2/473 nomor 369, Asy Syari’ah 61)
90. Al Fudlail bin Iyyadl berkata :
“Jangan kamu duduk (bermajelis) bersama ahli bid’ah sebab
sesungguhnya saya khawatir kamu tertimpa laknat.” (Al Lalikai 1/137 nomor 261
dan 262)
91. Ia --juga-- berkata :
“Hati-hatilah kamu (jangan) masuk kepada ahli bid’ah karena
sesungguhnya mereka itu selalu menghalangi orang dari Al Haq.” (Ibid)
92. Al Hasan Al Bashry dan Ibnu Sirin berkata :
“Janganlah duduk (bermajelis) bersama ahli ahwa’ dan jangan
kamu berdialog dengan mereka dan jangan dengar ucapan mereka.” (Al Ibanah 2/444
nomor 395 dan Ad Darimy 1/121 no 401)
93. Ibrahim An Nakha’i berkata :
“Janganlah duduk (bermajelis) bersama ahli ahwa’ karena saya
khawatir kalau- kalau hatimu berbalik (murtad).” (Al Ibanah 2/439 nomor 373, Al
Bida’ 56, Al I’tisham 1/172)
94. Al Hasan Al Bashry berkata :
“Janganlah kamu duduk (bermajelis) dengan ahli ahwa’ sebab
yang demikian menjadikan hati berpenyakit.” (Al Bida’ 54, Al Ibanah 2/438 nomor
373 juga dari Abdullah Al Mula’i nomor 373 dan Ibnu Abbas nomor 371)
95. Mujahid berkata :
“Janganlah kamu berada dalam satu majelis dengan ahli ahwa’
sebab mereka mempunyai cacat seperti kurap.” (Al Ibanah 2/441 nomor 382)
96. Muhammad bin Muslim berkata, Allah mewahyukan kepada
Musa bin Imran Alaihis Salam :
“Hendaknya kamu jangan duduk dengan ahli ahwa’ karena
(dikhawatirkan) engkau akan mendengar satu ucapan yang menyebabkan kamu ragu
lalu sesat dan masuk neraka.” (Al Bida’ 56)
97. Ibnu Mas’ud berkata :
“Barangsiapa yang suka memuliakan Diennya maka tinggalkanlah
bermajelis dengan ahli ahwa’ sebab yang demikian itu lebih sulit lepasnya
dibanding penyakit kulit (koreng, dan sebagainya).” (Ibid 57)
98. Al Hasan Al Bashry berkata :
“Janganlah duduk dengan pengekor hawa nafsu lalu ia
melemparkan sesuatu dalam hatimu dan kamu ikuti lalu kamu celaka atau kamu
menolaknya akibatnya hatimu menjadi sakit.” (Ibid)
99. Al Fudlail bin Iyyadl berkata :
“Ahli bid’ah itu jangan kamu mempercayainya dalam soal
agamamu dan jangan ajak dia bermusyawarah dalam urusanmu dan jangan duduk
dengannya. Maka siapa yang duduk dengannya, Allah wariskan kepadanya kebutaan
(dari Al Haq).” (Al Lalikai 1/138 nomor 264)
100. Ibrahim An Nakha’i berkata :
“Janganlah duduk dengan ahli ahwa’ sebab sesungguhnya duduk
dengan mereka melenyapkan cahaya iman dari dalam hati dan menghilangkan
keindahan wajah dan mewariskan kebencian di dalam hati kaum Mukminin.” (Al
Ibanah 2/439 nomor 375)
101. Dari Atha’ ia berkata, Allah Azza wa Jalla
mewahyukan kepada Musa Alaihis Salam :
“Janganlah kamu duduk (bermajelis) dengan ahli ahwa’ sebab
sesungguhnya mereka akan menimbulkan perkara baru yang belum pernah ada di
dalam hatimu.” (Ibid 2/433 nomor 358)
102. Salamah bin Alqamah berkata :
“Muhammad bin Sirin selalu melarang manusia berbicara dan
duduk (bermajelis) dengan ahli ahwa’.” (Ibid 2/522 nomor 624)
103. Aly bin Abi Khalid menceritakan bahwa ia berkata kepada
Imam Ahmad bin Hanbal :
“Orang tua ini --sambil mengisyaratkan kepada syaikh itu--
adalah jiranku dan saya telah melarangnya bergaul dengan seseorang (bid’iy) dan
ia lebih suka mendengar perkataan Anda dalam perkara ini --mengenai Harits Al
Qashir-- (Harits Al Muhasibi) dan Anda pernah melihatku bersamanya selama
beberapa tahun lalu Anda katakan pada saya :
‘Jangan duduk (bermajelis) dengannya dan jangan ajak
bicara.’
Maka sejak saat itu saya tidak pernah mengajaknya bicara
sampai saat ini sedangkan orang tua ini senang duduk (bermajelis) dengannya
maka bagaimana pendapat Anda dalam hal ini?”
Saya lihat wajah Imam Ahmad memerah, urat lehernya
membengkak dan matanya melotot marah dan saya belum pernah melihatnya seperti
itu sama sekali kemudian beliau menghembuskan nafas dan mulai berkata :
“Orang itu! Allah telah berbuat terhadapnya apa yang Dia
perbuat, tidak ada yang mengetahuinya kecuali orang yang berpengalaman dan
mengenalnya, uwaiyyah, uwaiyyah, uwaiyyah, dia itu tidak ada yang mengetahuinya
kecuali yang pernah bergaul dan mengenalnya, dia itu yang pernah duduk
bersamanya Al Maghazily, Ya’qub, dan Fulan lalu ia menggiring mereka kepada
pemikiran Jahm akhirnya mereka binasa karenanya.”
Orang tua itu berkata : “Wahai Abu Abdillah, ia juga
meriwayatkan hadits, lembut, khusyu’ dan orang tua itu terus menceritakan
kebaikan Harits Al Muhasibi.”
Imam Ahmad marah dan berkata :
“Janganlah kau tertipu dengan kekhusyukan dan kelembutannya.
Dan jangan kamu terpedaya dengan kebiasaannya menundukkan kepala karena
sesungguhnya dia adalah laki-laki yang jahat, dia itu tidaklah mengetahuinya
kecuali yang telah berpengalaman dengannya, jangan kamu ajak dia bicara. Tidak
ada kemuliaan baginya. Apakah setiap yang meriwayatkan hadits-hadits Rasulullah
Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam padahal ia seorang mubtadi’ kamu akan duduk
bersamanya? Tidak! Jangan. Tidak ada kemuliaan baginya dan jangan kita
membutakan mata!”
Beliau mengulangi-ulangi ucapannya : “Tidak ada yang mengetahuinya
kecuali yang pernah mengujinya dan mengenalnya.” (Thabaqat Hanabilah 1/233-234
nomor 325)
104. Dari Abduus bin Malik Al Aththar ia berkata, saya
mendengar Abu Abdillah Ahmad bin Hanbal berkata:
“Dasar-dasar As Sunnah menurut kami adalah --beliau sebutkan
di antaranya-- : ‘ ... dan tidak duduk (bermajelis) dengan ahli ahwa’.” (Ibid
1/241 nomor 338)
105. Imam Ahmad ketika ditanya tentang Al Karabisiy, beliau
menjawab :
“Dia itu seorang mubtadi’.” (Tarikh Baghdad 8/66)
106. Diberitakan kepada Yahya bin Ma’in bahwa Husain Al
Karabisiy mengatakan sesuatu tentang Ahmad bin Hanbal maka katanya :
“Siapa Husain Al Karabisiy itu? Semoga Allah melaknatnya.
Dia itu selalu membicarakan perkara yang masih tersamar bagi manusia, Husain
itu rendah dan Ahmad itu tinggi kedudukannya.” (Ibid 8/65)
107. Juga diceritakan kepadanya bahwa Husain mengatakan
sesuatu tentang Imam Ahmad maka ia berkata :
“Alangkah pantasnya ia dipukul.” (Ibid 8/64)
108. Yusuf bin Asbath berkata :
“Ayahku seorang Qadariy sedangkan saudara-saudara ibuku
adalah Rafidly (Syiah ekstrim) lalu Allah menyelamatkanku dengan (bimbingan)
Sufyan.” (Al Lalikai 1/60 nomor 32)
BAB 11 : Bolehnya Meninggalkan Tokoh Tertentu Ahli Bid’ah,
Majelis Mereka, Dan Menjauhkan Manusia Dari Mereka
109. Farwah bin Yahya biasa duduk dengan Abdul Karim
Khashifa, datang kepada mereka Salim Al Afthas dari Iraq lalu berbicara tentang
pemikiran Murjiah maka mereka berdiri dari majelis tersebut katanya (rawi) :
“Sering saya lihat dia duduk sendirian tanpa seorang pun
yang mendekatinya.” (Al Ibanah 2/452 nomor 418)
110. Seseorang berkata kepada Ibnu Sirin :
“Sesungguhnya si Fulan ingin menemui Anda dan tidak akan
berbicara tentang apa pun.”
Katanya : “Katakan kepadanya, tidak! Ia tidak usah menemuiku
karena sesungguhnya hati anak Adam itu lemah dan saya takut mendengar satu kata
saja dari dia yang menyebabkan hatiku tidak kembali kepada keadaanya semula.”
(Ibid 2/446 nomor 399-401)
111. Ma’mar berkata, ketika Ibnu Thawus sedang duduk, datang
seorang Mu’tazilah dan mulai berbicara katanya (rawi) lalu ia menutup
telinganya dengan jarinya dan berkata kepada anaknya :
“Wahai anakku, tutuplah telingamu dengan jarimu dan
keraskanlah dan jangan kau dengar ucapannya sedikitpun.” (At Tahdzib 2/117 dan
Tarikh baghdad 8/215)
112. Abdur Razzaq berkata, Ibrahim bin Muhammad bin Abi
Yahya berkata kepadaku --ia seorang Mu’taziliy-- :
“Saya lihat kaum Mu’tazilah banyak di sekitarmu?” Saya
katakan : “Betul dan mereka menyangka kamu termasuk golongan mereka.” Katanya :
“Apakah tidak sebaiknya kamu ikut denganku ke warung ini agar saya berbicara
denganmu?” Saya berkata : “Tidak usah.” Ia bertanya : “Mengapa?” Jawabku :
“Karena hati manusia itu sangat lemah sedangkan agama itu bukan kepunyaan orang
yang menang berdebat.” (At Tahdzib 2/117 dan Tarikh Baghdad 8/215)
113. Ibrahim An Nakha’i berkata kepada Muhammad bin As Saib
:
“Janganlah kamu mendekati kami selama kamu masih berpegang
dengan pendapatmu ini (pemikiran Murjiah). (Karena dia seorang Murjiah,
pent.).” (Al Bida’ 59)
114. Abul Qasim An Nashr Abadzy berkata :
“Sampai kepadaku bahwa Al Harits Al Muhasibiy mengucapkan
sesuatu tentang Al Kalam (Al Quran) maka Imam Ahmad bin Hanbal menjauhinya, ia
pun bersembunyi dan ketika ia mati tidak ada yang mendatanginya kecuali 4
orang.” (At Tahdzib 2/117 dan Tarikh Baghdad 8/216)
115. Ketika ditanya tentang Al Muhasibi dan kitab-kitabnya,
Abu Zur’ah menjawab :
“Tinggalkan olehmu kitab-kitab ini (karena) ini adalah
kitab-kitab bid’ah dan sesat. Berpeganglah dengan atsar Salafus Shalih sebab
sesungguhnya akan kamu dapatkan padanya segala sesuatu yang mencukupi kamu. Dan
tidak perlu kitab- kitab ini.”
Lalu dikatakan kepadanya : “Di dalam kitab ini ada juga
ibrah (pelajaran yang dapat diambil).”
Beliau berkata : “Barangsiapa yang tidak dapat mengambil
ibrah dari Kitab Allah maka dia tidak akan mendapatkan ibrah dari sumber yang
lain.” Kemudian katanya lagi : “Alangkah cepatnya manusia itu menuju bid’ah.”
(At Tahdzib 2/117 dan Tarikh Baghdad 8/215)
116. Dengan sanad yang shahih, Al Khathib Al Baghdadi
<meriwayatkan bahwa Imam Ahmad pernah mendengar ucapan Al Muhasibi maka
iapun berkata kepada para shahabatnya :
“Aku belum pernah mendengar tentang perkara hakikat seperti
ucapan orang ini akan tetapi saya menganggap tidak perlu kamu bergaul
dengannya.” (At Tahdzib 2/117)
117. Daud Al Ashbahani tiba di Baghdad dan dia punya
hubungan baik dengan Shalih bin (Al Imam) Ahmad bin Hanbal. Ia meminta Shalih
agar berlemah-lembut memintakan izin kepada ayahandanya untuk dirinya. Maka
Shalih mendatangi ayahnya lalu berkata :
“Seseorang memintaku agar ia boleh menemui Anda.” Beliau
bertanya : “Siapa namanya?” Shalih berkata : “Daud.” Kata beliau : “Asalnya
dari mana?” Kata Shalih : “Dari penduduk Ashbahan.” Beliau bertanya lagi : “Apa
yang diperbuatnya?” Kata (rawi), Shalih selalu mengelak mengenalkannya kepada
ayahandanya dan Imam Ahmad selalu berusaha untuk bertanya sampai akhirnya
beliau mengerti betul siapa yang datang. Maka kata beliau : “Tentang orang ini,
Muhammad bin Yahya An Naisaburi telah menuliskannya kepadaku lewat surat bahwa
ia menganggap bahwa Al Quran adalah muhdats (makhluk) maka janganlah ia
mendekatiku.”
Kata Shalih : “Wahai ayahanda, ia pun menolak dan
mengingkarinya.” Maka kata beliau : “Ucapan Muhammad bin Yahya lebih jujur dari
orang ini, jangan izinkan dia mendatangi saya.” (Tarikh Baghdad 8/373,374 dan
As Siyar 13/99)
118. Abdullah bin Umar As Sarkhasi berkata, saya pernah
makan di sisi seorang ahli bid’ah lalu sampai berita ini kepada Ibnul Mubarak
maka katanya :
“Saya tidak akan mengajaknya bicara selama tiga puluh hari.”
(Al Lalikai 1/139 nomor 274)
119. Al Faryabi berkata :
“Sufyan Ats Tsauri selalu melarangku duduk (bermajelis)
dengan Fulan --yakni seorang ahli bid’ah--.” (Al Ibanah 2/463 nomor 452-456)
120. Dua orang ahli ahwa’ mendatangi Ibnu Sirin lalu berkata
:
“Hai Abu Bakr, (bolehkah) kami menyampaikan satu hadits
kepadamu?”
Ia berkata : “Tidak.” Keduanya berkata lagi : “Atau kami
bacakan ayat Al Quran kepadamu?”
Ia menjawab : “Tidak. Kalian pergi dari saya atau saya yang
akan pergi?”
Lalu keduanya keluar maka sebagian orang berkata : “Hai Abu
Bakr, mengapa Anda tidak mau mereka membacakan ayat-ayat Al Quran kepadamu?”
Beliau menjawab :
“Sesungguhnya saya khawatir ia bacakan kepadaku satu ayat
lalu mereka menyelewengkannya sehingga berbekas dalam hatiku.” (Ad Darimy 1/120
nomor 397)
121. Salam berkata, seorang ahli ahwa berkata kepada Ayyub :
“Saya ingin bertanya mengenai satu kalimat kepada Anda.”
Ayyub segera berpaling dan berkata : “Tidak perlu meski setengah kalimat
walaupun setengah kalimat.” --Ia mengisyaratkan jarinya--. (Al Ibanah 2/447
nomor 402, Al Lalikai 1/143 nomor 291, As Sunnah li Abdillah 1/138 nomor 101,
Ad Darimy 1/121 nomor 398)
122. Al Fudlail bin Iyyadl berkata :
“Jauhilah olehmu duduk dengan orang yang dapat merusak
hatimu dan jangan duduk dengan pengekor hawa nafsu karena sesungguhnya saya
khawatir kamu terkena murka Allah.” (Al Ibanah 2/462-463 nomor 451-452)
123. Ismail Ath Thusi mengatakan, Ibnul Mubarak berkata
kepadaku :
“Hendaknya majelismu itu bersama orang-orang miskin dan
berhati-hatilah jangan duduk bersama ahli bid’ah.”
124. Nafi’ menceritakan bahwa Shabigh Al Iraqi mulai
bertanya-tanya tentang sesuatu dari Al Quran di tengah-tengah pasukan Muslimin
sampai tiba di Mesir lalu Amru bin Al Ash mengirimnya kepada Umar bin Al
Khaththab. Maka ketika utusan menemuinya dengan surat dari Amru, Umar bin Al
Khaththab segera membacanya, katanya :
“Mana orang itu?” Utusan itu berkata : “Ia di kendaraan.”
Kata Umar : “Awasi dia! Kalau dia hilang, kamu akan kena hukuman yang
menyakitkan.”
Maka dibawalah Shabigh, kata Umar : “Kamu bertanya-tanya
soal yang baru (belum pernah ditanyakan kepada Rasulullah Shallallahu 'Alaihi
Wa Sallam).” Lalu Umar minta pelepah kurma yang masih segar dan memukulkannya
ke punggung Shabigh sampai remuk kemudian ditinggalkan sampai pulih kembali dan
diulangi lagi kemudian ia dipanggil agar menghadap maka kata Shabigh : “Jika
Anda ingin membunuhku maka bunuhlah dengan baik kalau Anda ingin mengobatiku
maka sungguh demi Allah saya sudah sembuh (dari keinginan bertanya- tanya).”
Kemudian ia diizinkan kembali ke negerinya dan Umar menulis
surat kepada Abu Musa Al Asy’ari, jangan ada seorang pun dari kaum Muslimin
duduk bersamanya. Akhirnya hal ini terasa sangat berat bagi Shabigh kemudian
(setelah ia bertaubat) Abu Musa menulis surat kepada Umar bin Al Khaththab bahwa
Shabigh telah baik keadaannya, setelah itu Umar menulis surat kepada Abu Musa
agar manusia diizinkan untuk duduk bersamanya. (Ad Darimy 1/67 nomor 148, Al
Hujjah 1/194, dan Al Bida’ 63)
125. Salah seorang Salaf berkata :
“Saya pernah berjalan bersama Amru bin Ubaid dan dilihat
oleh Ibnu Aun, sejak itu iapun menjauhiku selama dua bulan.” (Al Bida’ 58)
BAB 12 : Jeleknya Berdebat dan Berbantahan Mengenai Agama
126. Abul Harits berkata, saya mendengar Imam Ahmad (Abu
Abdillah) berkata :
“Apabila kamu lihat seseorang suka berdebat maka jauhilah
dia.”
Dan diceritakan kepadaku tentang Abu Imran Al Ashbahani ia
berkata, saya mendengar Imam Ahmad berkata : “Jangan duduk dengan orang yang
suka berdebat meskipun untuk membela As Sunnah sebab sesungguhnya yang demikian
tidak akan berubah menuju kebaikan.”
Maka jika ada yang berkata : “Anda telah memperingatkan kami
agar menjauhi perbantahan, percekcokan, debat dan berdiskusi dan kami tahu ini
adalah kebenaran dan merupakan jalannya ulama dan para shahabat serta orang-orang
yang berakal dari kaum Mukminin dan ulama yang berpandangan tajam (memiliki
bashirah). Seandainya seseorang mendatangi saya dan menanyakan suatu perkara
dari ahwa ini yang telah nyata dan tentang madzhab-madzhab rusak yang telah
tersebar dan ia mengajak dialog dengan sesuatu yang menuntut jawaban dari saya
sedangkan saya termasuk orang yang dianugerahi Allah Yang Maha Mulia ilmu dan
bashirah untuk menjawab dan membongkar syubhatnya itu. Apakah saya harus
tinggalkan dia mengatakan apa yang dia inginkan dan tidak dijawab dan saya
biarkan dia dengan hawa nafsunya serta bid’ahnya itu dan saya tidak membantah
ucapannya yang rusak tersebut?”
Maka saya katakan di sini : “Ketahuilah saudaraku --semoga
Allah merahmatimu- -. Sesungguhnya ujian yang kamu hadapi dari orang yang
seperti ini tidak terlepas dari salah satu dalam tiga hal :
Bisa jadi ia seorang yang Anda kenal baik jalannya,
madzhabnya, dan kecintaannya kepada keselamatan dan keinginannya untuk menuju
sikap istiqamah hanya saja ia biarkan telinganya mendengar ucapan orang-orang
yang hati mereka dihuni oleh para syaithan dan berbicara dengan berbagai ucapan
kekafiran lewat lisan mereka dan ia tidak mengetahui jalan keluar dari bencana
yang menimpanya itu maka bisa jadi pertanyaannya adalah pertanyaan yang
menginginkan bimbingan lalu ia mencari jalan keluar dari apa yang dialaminya
dan mencari obat untuk mengobati sakitnya dan bisa jadi Anda rasakan
ketaatannya dan aman dari penentangannya maka orang yang seperti inilah yang
wajib bagimu menghentikannya dan membimbingnya menjauhi jaring-jaring tipu daya
para syaithan dan hendaknya bekalmu membimbing dalan menyelamatkannya itu
bersumber dari Al Quran dan As Sunnah dan atsar yang shahih dari ulama ummat
ini dari kalangan shahabat dan tabi’in yang tentunya semua itu harus dilakukan
dengan Al Hikmah dan mau’izhah (nasihat) yang baik. Jauhilah olehmu sikap
takalluf (memberat-beratkan) terhadap perkara yang tidak kamu kenal lalu kamu
bawakan pendapatmu (ra’yu) dan berbelit-belit dalam pembahasan. Jika kamu lakukan
maka perbuatanmu ini adalah bid’ah meskipun kamu dengan perkataanmu itu ingin
(membela) As Sunnah. Karena keinginanmu menuju Al Haq akan tetapi tidak melalui
jalan yang Haq merupakan kebathilan. Sedangkan ucapanmu tentang As Sunnah tapi
tidak denngan tuntunan As Sunnah adalah bid’ah maka janganlah kamu carikan obat
untuk shahabatmu dengan sakitnya jiwamu dan jangan harapkan keselamatannya
dengan kerusakan dirimu. Maka sesungguhnya tidak dinasihati manusia itu oleh
orang yang menipu dirinya sendiri. Barangsiapa yang tidak memiliki kebaikan
untuk dirinya sendiri maka ia tidak akan dapat memberikan kebaikan kepada orang
lain. Siapa yang Allah kehendaki menjadi baik maka Allah berikan ia taufiq dan
Allah luruskan dia dan siapa yang bertaqwa maka Allah akan menolong dan
memenangkannya.” (Al Ibanah 2/540-541 nomor 679)
127. Dari Abu Aly Hanbal bin Ishaq bin Hanbal ia berkata,
seseorang menyurati Imam Ahmad minta izin untuk menulis kitab menerangkan
bantahan terhadap ahli bid’ah dan berdialog dengan mereka untuk membantah
mereka maka Imam Ahmad membalasnya :
“Semoga Allah memperbaiki akhir hidupmu, menghindarkanmu
dari hal yang tidak disenangi dan dihindari. Sebagaimana yang kita dengar dan
kita dapatkan dari para Ahli Ilmu bahwa sesungguhnya mereka tidak suka berdebat
dan duduk bersama ahli zaigh (yang condong kepada kesesatan, ahli bid’ah).
Bahwasanya perkara agama ini adalah menerima dan kembali (merujuk) kepada apa
yang diterangkan dalam Kitab Allah dan Sunnah Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa
Sallam bukan duduk bersama ahli bid’ah dan ahli zaigh untuk membantah mereka
karena sesungguhnya mereka akan mengelabui kamu (dalam perdebatan itu)
sedangkan mereka tetap tidak akan kembali. Maka yang selamat --Insya Allah--
adalah menjauhi majelis mereka dan tidak memperdalam pembahasan (bersama
mereka) tentang bid’ah dan kesesatan mereka. Oleh sebab itu hendaknya seseorang
bertakwa kepada Allah dan kembali kepada apa yang memberi manfaat baginya pada
masa mendatang (yakni akhirat) berupa amalan shalih yang ia usahakan untuk
dirinya dan hendaknya janganlah ia termasuk orang yang mengada-adakan urusan
karena ketika perkara baru itu keluar darinya ia membutuhkan hujjah dan berarti
ia membawa dirinya kepada sesuatu yang mustahil dan ia mencarikan hujjah bagi
perkara yang ia ada-adakan itu dengan sesuatu yang haq dan yang bathil agar ia
dapat menghiasi bid’ahnya dan apa yang ia ada-adakan itu. Dan yang lebih
berbahaya lagi dari itu semua adalah kalau ia menuliskannya dalam sebuah kitab
yang memuat perkara tersebut, ia akan menghiasinya dengan perkara yang haq dan
bathil walaupun Al Haq itu telah jelas dan bukan seperti itu. Dan kami memohon
kepada Allah agar memberi taufiq untuk kami dan kamu, Wassalamu’alaika.” (Al
Ibanah 2/471-472 nomor 481)
128. Dari Yahya bin Sa’id ia berkata, Umar bin Abdul Aziz
berkata :
“Siapa yang menjadikan agamanya bahan perdebatan dan
perbantahan maka ia adalah orang yang paling sering berpindah-pindah
(pemikirannya).” (Asy Syari’ah 62 dan Ad Darimy 1/102 nomor 304)
129. Dari Abdus Shamad bin Ma’qil ia berkata, saya mendengar
Wahb mengatakan :
“Tinggalkanlah percekcokan dan perdebatan dalam urusanmu
karena sesungguhnya kamu tidak mungkin melemahkan salah satu dari dua lawanmu
yaitu seorang yang lebih alim darimu maka bagaimana mungkin kamu membantah dan
mendebat orang yang jelas lebih alim dari kamu? Dan seorang yang kamu lebih
alim dari dia maka apakah pantas kamu membantah dan mendebat orang yang lebih
bodoh dari kamu? Sedangkan ia tidak akan mentaati kamu, putuslah yang demikian
atasmu.” (Asy Syari’ah 64)
130. Dari Ma’n bin Isa ia berkata, pada suatu hari Jum’at
Imam Malik bin Anas keluar dari mesjid sambil bersandar ke lenganku, seseorang
bernama Abul Huriyyah menyusulnya --ia diduga seorang Murjiah-- katanya :
“Hai Abu Abdillah, dengarkanlah! Saya mengajakmu bicara
tentang sesuatu. Dan saya akan membantahmu dan mengeluarkan pendapatku
kepadamu.”
Beliau berkata : “Kalau kamu mengalahkanku bagaimana?” Orang
itu berkata : “Kalau aku menang kamu ikut saya.” Kata beliau lagi : “Bagaimana
jika datang seseorang lalu mengajak kita berdebat dan mengalahkan kita?”
Laki-laki itu menjawab : “Kita ikuti dia.” Maka berkatalah Imam Malik
rahimahullah :
“Hai hamba Allah! Allah mengutus Muhammad Shallallahu
'Alaihi Wa Sallam membawa agama yang satu tapi saya melihat kamu selalu
berpindah dari satu agama ke agama yang lain.” (Ibid 62)
131. Imam Abu Bakr Al Ajurri berkata :
Jika ada yang berkata : “Apabila seseorang telah diberi
iilmu oleh Allah Azza wa Jalla lalu seseorang mendatanginya bertanya tentang
agama ini, orang itu membantah dan mendebatnya. Bagaimana pendapat Anda
bolehkah ia mendebat orang itu sampai ditegakkan hujjah dan dibantah
ucapannya?”
Katakan kepadanya : “Inilah yang dilarang kita melakukannya
dan inilah yang telah diperingatkan para imam kaum Muslimin yang terdahulu.”
Oleh sebab itu jika ada yang berkata : “Lalu apa yang harus
kita perbuat?”
Katakan kepadanya : “Jika ia menanyakannya kepadamu dengan
pertanyaan untuk mencari petunjuk kepada jalan yang haq tanpa ingin berdebat
maka tunjukilah dia dengan tuntunan yang berisi keterangan ilmu dari Al Quran
dan As Sunnah serta pendapat para shahabat dan para imam kaum Muslimin. Adapun
jika ia ingin berdebat denganmu dan ia membantahmu maka inilah yang tidak
disukai ulama untukmu maka jangan kamu berdialog dengannya dan berhati-hatilah
terhadapnya dalam agamamu.”
Kemudian jika ada yang berkata : “Apakah kami biarkan mereka
berbicara dengan kebathilan dan kami berdiam diri dari mereka?”
Katakan kepadanya : “Diamnya kamu dari mereka (tidak
memperdulikan mereka), menyingkirnya kamu dari mereka jauh lebih menyakitkan
bagi mereka daripada kamu berdiskusi dengan mereka, demikianlah yang dikatakan
Salafus Shalih.”
BAB 13 : Menghinakan dan Tidak Menghormati Ahli Bid’ah
132. Al Fudlail bin Iyyadl berkata :
“Siapa yang menghormati ahli bid’ah berarti ia memberi
bantuan untuk meruntuhkkan Islam dan siapa yang tersenyum kepada ahli bid’ah
maka ia telah menganggap remeh apa yang diturunkan Allah Azza wa Jalla kepada
Muhammad Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam dan siapa yang menikahkan puterinya
kepada mubtadi’ maka ia telah memutuskan hubungan silaturrahimnya dan siapa
yang mengiringi jenazah seorang mubtadi’ akan senantiasa berada dalam kemarahan
Allah sampai ia kembali.”
Ia juga mengatakan : “Saya makan bersama yahudi dan nashrani
dan tidak makan bersama mubtadi’.” (Syarhus Sunnah 139)
BAB 14 : Jangan Tertipu Oleh Ahli Bid’ah
133. Dari Ismail bin Ishaq As Siraj ia mengatakan, Imam
Ahmad bin Hanbal pada suatu hari berkata kepadaku :
“Saya dengar bahwa Al Harits Al Muhasibi sering berkumpul di
tempatmu, kalau kamu mengundangnya ke rumahmu dan kau tempatkan saya di tempat
yang tidak terlihat olehnya tentu saya akan dapat mendengar perkataannya.” Maka
saya berkata : “Saya dengar dan saya patuhi untuk Anda, hai Abu Abdillah dan
ini menyenangkan saya.” Lalu saya mendatangi Al Harits dan memintanya datang
malam ini, saya katakan : “Engkau ajaklah shahabatmu hadir bersamamu.”
Katanya : “Hai Abu Ismail, mereka banyak maka jangan beri
mereka lebih dari minyak dan kurma dan perbanyaklah keduanya semampumu.”
Saya pun melakukan apa yang dia minta dan saya berangkat ke
tempat Imam Ahmad dan menceritakan hal ini kepadanya, beliau hadir sesudah
maghrib dan naik ke kamar dan berusaha untuk tetap hadir sampai selesai.
Kemudian Al Harits datang beserta shahabat-shahabatnya lalu mereka makan
kemudian shalat pada sepertiga awal malam dan tidak shalat lagi sesudahnya.
Setelah itu mereka duduk di hadapan Al Harits dan diam tidak berbicara hingga
tengah malam kemudian mulailah salah seorang bertanya kepada Al Harits tentang
sesuatu dan ia mulai berbicara sementara shahabatnya memperhatikan seakan-akan
di atas kepala mereka bertengger seekor burung (karena tenangnya), di antara
mereka ada yang menangis adapula yang menjerit dan Al Harits tetap berbicara
kemudian saya naik ke kamar melihat keadaan Imam Ahmad, saya dapati beliau
menangis sampai tidak sadarkan diri. Saya pun berpaling melihat keadaan orang-
orang itu ternyata mereka tetap dalam keadaan seperti itu sampai shubuh lalu
mereka berdiri dan berpisah. Saya segera menemui Imam Ahmad sedang ia terlihat
lain maka saya berkata : “Bagaimana pendapat Anda tentang mereka ini, wahai Abu
Abdillah?”
Beliau menjawab : “Belum pernah saya mengetahui ada
orang-orang seperti mereka ini dan saya belum pernah mendengar tentang ilmu
hakikat seperti ucapan laki-laki itu (Al Harits) dan meskipun saya terangkan
keadaan mereka ini, saya tetap tidak memandang perlunya kamu bergaul dengan
mereka.” Lalu ia berdiri dan keluar. (Tarikh Baghdad 8/214-215)
BAB 15 : Ahli Bid’ah Lebih Jahat Dari Orang Yang Fasiq
134. Abu Musa berkata :
“Bertetangga dengan yahudi dan nashrani lebih aku sukai
daripada bertetangga dengan pengekor hawa nafsu (ahli bid’ah) karena ini
menyebabkan hatiku berpenyakit.” (Al Ibanah 2/468 nomor 469)
135. Yunus bin Ubaid berkata kepada anaknya :
“Saya larang kamu berzina, mencuri, dan minum khomer namun
seandainya kamu bertemu Allah Azza wa Jalla dengan (masih) berbuat ini lebih
saya sukai daripada kamu bertemu Allah membawa pemikiran Amru bin Ubaid dan
shahabat- shahabatnya.” (Al Ibanah 2/466 nomor 464)
136. Abul Jauza berkata :
“Seandainya tetanggaku kera dan babi itu lebih aku sukai
daripada seorang dari ahli ahwa menjadi tetanggaku dan sungguh mereka termasuk
yang disebut dalam ayat :
Dan jika mereka bertemu kamu, mereka berkata : “Kami
beriman.” Dan jika mereka menyendiri, mereka menggigit ujung jarinya lantaran
marah dan benci kepadamu. Katakanlah : “Matilah kamu karena kemarahanmu itu.”
Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala isi hati. (QS. Ali Imran : 119) (Al
Ibanah 2/467 nomor 466-467)“
137. Al Awwam bin Hausyab berkata mengenai anaknya, Isa :
“Demi Allah, sungguh jika aku lihat Isa duduk dengan tukang
musik dan peminum khomr dan orang yang bicara sia-sia lebih aku sukai daripada
aku melihatnya duduk dengan tukang debat ahli bid’ah.” (Al Bida’ 56)
138. Yahya bin Ubaid berkata :
Seorang Mu’tazili menemuiku ingin bicara. Lalu saya berdiri dan
berkata :
“Kamu yang pergi dari sini atau saya karena sesungguhnya
saya berjalan dengan nashrani lebih saya sukai daripada berjalan bersamamu.”
(Al Bida’ 59)
139. Arthaah bin Al Mundzir berkata :
“Seandainya anakku termasuk salah satu dari orang yang fasiq
lebih aku sukai daripada dia menjadi seorang pengekor hawa nafsu (ahli
bid’ah).” (Asy Syarhu wal Ibanah Ibnu Baththah 132 nomor 87)
140. Sa’id bin Jubair berkata :
“Seandainya anakku berteman dengan orang fasiq licik tapi
sunniy lebih aku cintai daripada ia berteman dengan ahli ibadah namun
mubtadi’.” (Ibid nomor 89)
141. Ketika dikatakan kepada Malik bin Mighwal bahwa anaknya
bermain-main dengan burung, ia berkata:
“Alangkah baiknya apa yang menyibukkannya dari berteman
dengan mubtadi’.” (Ibid 133 nomor 90)
142. Imam Al Barbahary berkata :
“Jika kamu dapati seorang sunniy yang jelek thariqah dan
madzhabnya, fasiq dan fajir (durhaka), ahli maksiat sesat namun ia berpegang
dengan sunnah, bertemanlah dengannya, duduklah bersamanya sebab kemaksiatannya
tidak akan membahayakanmu. Dan jika kamu lihat seseorang giat beribadah,
meninggalkan kesenangan dunia, bersemangat dalam ibadah, pengekor hawa nafsu
(ahli bid’ah) maka jangan bermajelis atau duduk bersamanya dan jangan pula
dengarkan ucapannya serta jangan berjalan bersamanya di suatu jalan karena saya
tidak merasa aman kalau kamu merasa senang berjalan dengannya lalu kamu celaka
bersamanya.” (Syarhus Sunnah 124 nomor 149)
143. Abu Hatim berkata, saya mendengar Ahmad bin Sinan
mengatakan :
“Seandainya bertetangga denganku pemusik tetap lebih aku
sukai daripada ahli bid’ah yang jadi jiranku. Karena pemusik itu mungkin dapat
untuk saya larang dan saya hancurkan musiknya (tamburnya) sedang mubtadi’ ia
merusak semua manusia, tetangga maupun para pemuda (tanpa disadari, ed.)” (Al
Ibanah 2/469 nomor 473)
144. Imam Asy Syafi’iy --rahimahullah-- berkata :
“Jika seorang hamba menghadap Allah dengan segenap dosa
kecuali syirik jauh lebih baik (lebih ringan dosanya, ed.) daripada ia
menghadap Allah membawa sesuatu berupa hawa nafsu (bid’ah).” (Syarhus Sunnah
halaman 124, disandarkan kepada Al Baihaqy dalam I’tiqad 158)
145. Imam Ahmad berkata :
“Kuburan Ahli Sunnah pelaku dosa besar bagaikan taman sedang
kuburnya ahli bid’ah biarpun ahli zuhud adalah jurang (neraka). Orang fasiq di
kalangan Ahli Sunnah termasuk wali-wali Allah sedang orang-orang zuhud (ahli
ibadah) dari kalangan ahli bid’ah adalah musuh-musuh Allah.” (Thabaqat
Hanabilah 1/184)
BAB 16 : Kapan Dibolehkan Atau Diwajibkannya Menerangkan
Keadaan Seseorang
146. Hamdun Al Qashshar ditanya : “Kapankah waktu
membicarakan seseorang?”
Ia menjawab : “Jika telah pasti baginya untuk menunaikan
kewajiban Allah ini berdasarkan ilmunya atau ia khawatir orang banyak celaka
karena bid’ah itu dan ia berharap agar Allah menyelamatkannya.” (Al I’tisham
1/127)
147. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata :
[Jika nasihat itu adalah kewajiban bagi kemaslahatan agama
secara khusus maupun umum seperti penukilan hadits yang mereka bersalah atau
berdusta sebagaimana kata Yahya bin Sa’id :
Saya bertanya kepada Imam Malik dan Ats Tsauri dan Al Laits
bin Sa’d --saya menduganya Al Auza’iy-- tentang seseorang yang tertuduh dalam
periwayatan hadits atau tidak hafal. Mereka mengatakan :
“Terangkan keadaannya itu.”
Dan sebagian ada yang berkata kepada Imam Ahmad bin Hanbal :
“Sesungguhnya berat bagiku mengatakan bahwa Fulan begitu, Fulan begini.”
Maka kata beliau : “Jika kamu dan saya diam dalam masalah
ini maka kapan orang yang jahil itu tahu mana hadits yang shahih dan mana yang
cacat?! Dan seperti imam-imam ahli bid’ah yang memiliki berbagai pendapat dan
ibadah yang menyelisihi Al Quran dan As Sunnah maka menjelaskan keadaan mereka
dan memperingatkan manusia dari mereka adalah wajib berdasarkan kesepakatan
kaum Muslimin (Ahli Ilmu).”
Sampai dikatakan kepada Imam Ahmad bin Hanbal : “Seseorang
berpuasa, shalat, i’tikaf lebih Anda cintai ataukah jika ia menerangkan keadaan
ahli bid’ah?”
Beliau berkata : “Jika ia puasa, shalat, dan i’tikaf maka
itu untuk dirinya sendiri sedangkan apabila ia menerangkan keadaan ahli bid’ah
maka ini adalah untuk kebaikan kaum Muslimin dan ini lebih utama maka
menerangkan perkara ini agar berguna bagi kaum Muslimin dalam agama mereka
termasuk salah satu jihad di jalan Allah sebab membersihkan jalan Allah dan
agama, manhaj, dan syariat-Nya serta menghalau kejahatan ahli bid’ah dan
permusuhan mereka adalah Fardlu Kifayah menurut kesepakatan kaum Muslimin. Dan
apabila tidak ada orang yang Allah bangkitkan untuk menolak bahaya ahli bid’ah
ini benar-benar akan hancurlah agama ini. Dan kerusakannya jauh lebih besar
daripada kerusakan akibat penjajahan musuh dari kalangan orang-orang yang kafir
yang mesti diperangi. Sebab mereka ini jika berkuasa belum tentu mampu merusak
hati manusia yang dijajahnya kecuali pada kesempatan berikutnya sedangkan ahli
bid’ah ini jika mereka berkuasa akan merusak hati lebih dahulu.” ] (Majmu’
Fatawa 28/231 dan 232)
BAB 17 : Salafus Shalih Menilai Seseorang Dengan Melihat
Teman Dekatnya
148. Abu Qilabah berkata :
[ Qaatalallahu! Semoga Allah binasakan penyair yang
mengucapkan syair :
Janganlah bertanya siapa dia tapi tanyakan siapa temannya
Karena setiap orang akan meniru temannya ]
Saya katakan : “Ucapan Abu Qilabah (Qaatalallahu) ini adalah
ungkapan yang menunjukkan kekagumannya dengan bait syair tersebut dan ini
adalah syairnya Ady bin Zaid Al Abadiy.”
Al Ashma’iy berkata : “Saya belum pernah menemukan satu bait
syair yang paling menyerupai As Sunnah selain ucapan Ady ini.”
149. Abu Hurairah berkata, Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa
Sallam bersabda :
“(Agama) seseorang (dikenal) dari agama temannya maka
perhatikanlah siapa temanmu.” (As Shahihah 927)
150. Ibnu Mas’ud berkata :
“Nilailah seseorang itu dengan siapa ia berteman karena
seorang Muslim akan mengikuti Muslim yang lain dan seorang fajir akan mengikuti
orang fajir yang lainnya.” (Al Ibanah 2/477 nomor 502 dan Syarhus Sunnah Al
Baghawi 13/70)
151. Dan ia berkata :
“Seseorang itu akan berjalan dan berteman dengan orang yang
dicintainya dan mempunyai sifat seperti dirinya.” (Al Ibanah 2/476 nomor 499)
152. Beliau melanjutkan :
“Nilailah seseorang itu dengan temannya sebab sesungguhnya
seseorang tidak akan berteman kecuali dengan orang yang mengagumkannya (karena
seperti dia).” (Al Ibanah 2/477 nomor 501)
153. Abu Darda mengatakan :
“Tanda keilmuan seseorang (dilihat) dari jalan yang
ditempuhnya, tempat masuknya, dan majelisnya.” (Al Ibanah 2/464 nomor 459-460)
154. Yahya bin Abi Katsir mengatakan, Nabi Sulaiman bin Daud
Alaihis Salam bersabda :
“Jangan menetapkan penilaian terhadap seseorang sampai kamu
memperhatikan siapa yang menjadi temannya.” (Al Ibanah 2/480 nomor 514)
155. Musa bin Uqbah Ash Shuriy tiba di Baghdad dan hal ini
disampaikan kepada Imam Ahmad bin Hanbal lalu beliau berkata :
“Perhatikan dimana ia singgah dan kepada siapa dia
berkunjung.” (Al Ibanah 2/479- 480 nomor 511)
156. Qatadah berkata :
“Sesungguhnya kami, demi Allah belum pernah melihat
seseorang menjadikan teman buat dirinya kecuali yang memang menyerupai dia maka
bertemanlah dengan orang-orang yang shalih dari hamba-hamba Allah agar kamu
digolongkan dengan mereka atau menjadi seperti mereka.” (Al Ibanah 2/477 nomor
500)
157. Syu’bah berkata, aku dapati tulisan dalam catatanku
(menyatakan) bahwasanya seseorang akan berteman dengan orang yang ia sukai. (Al
Ibanah 2/452 nomor 419-420)
158. Al Auza’iy berkata :
“Siapa yang menyembunyikan bid’ahnya dari kita tidak akan
dapat menyembunyikan persahabatannya.” (Al Ibanah 2/476 nomor 498)
159. Al A’masy mengatakan :
“Biasanya Salafus Shalih tidak menanyakan (keadaan)
seseorang sesudah (mengetahui) tiga hal yaitu jalannya, tempat masuknya, dan
teman-temannya.” (Al Ibanah 2/476 nomor 498)
160. Ayyub As Sikhtiyani diundang untuk memandikan jenazah
kemudian beliau berangkat bersama beberapa orang. Ketika penutup wajah jenazah
itu disingkapkan beliau segera mengenalinya dan berkata :
“Kemarilah --kepada-- temanmu ini, saya tidak akan
memandikannya karena saya pernah melihatnya berjalan dengan seorang ahli
bid’ah.” (Al Ibanah 2/478 nomor 503)
161. Abdullah bin Mas’ud berkata :
“Nilailah tanah ini dengan nama-namanya dan nilailah seorang
teman dengan siapa ia berteman.” (Al Ibanah 2/479 nomor 509-510)
162. Muhammad bin Abdullah Al Ghalabiy mengatakan :
“Ahli bid’ah itu akan menyembunyikan segala sesuatu kecuali
persatuan dan persahabatan (di antara mereka).” (Al Ibanah 1/205 nomor 44 dan
2/482 nomor 518)
163. Mu’adz bin Mu’adz berkata kepada Yahya bin Sa’id :
“Hai Abu Yahya, seseorang walapun dia menyembunyikan
pemikirannya tidak akan tersembunyi hal itu pada anaknya tidak pula pada
teman-temannya atau teman duduknya.”
164. Amru bin Qais Al Mulaiy berkata :
“Jika kamu lihat seorang pemuda tumbuh bersama Ahli Sunnah
wal Jamaah harapkanlah dia dan bila ia tumbuh bersama ahli bid’ah
berputus-asalah kamu dari (mengharap kebaikan)nya. Karena pemuda itu bergantung
di atas apa yang pertama kali ia tumbuh dan dibentuk.” (Al Ibanah 1/205 nomor
44 dan 2/482 nomor 518)
165. Ia --juga-- mengatakan :
“Seorang pemuda itu benar-benar akan berkembang maka jika ia
lebih mementingkan duduk dengan Ahli Ilmu ia akan selamat dan jika ia condong
kepada yang lain ia akan celaka.”
166. Ibnu Aun mengatakan :
“Siapa pun yang duduk dengan ahli bid’ah ia lebih berbahaya
bagi kami dibanding ahli bid’ah itu sendiri.” (Al Ibanah 2/273 nomor 486)
167. Ketika Sufyan Ats Tsaury datang ke Bashrah melihat
keadaan Ar Rabi’ bin Shabiih dan kedudukannya di tengah ummat, Yahya bin Sa’id
Al Qaththan berkata : “Ia bertanya apa madzhabnya?”
Mereka menjawab bahwa madzhabnya tidak lain adalah As
Sunnah, ia berkata lagi : “Siapa teman baiknya?”
Mereka menjawab : “Qadary.”
Beliau berkata : “Berarti ia seorang Qadariy.” (Al Ibanah
2/453 nomor 421)
Ibnu Baththah berkata : [ Semoga Allah merahmati Sufyan Ats
Tsauri, ia sungguh telah berbicara dengan Al Hikmah maka alangkah tepat
ucapannya itu dan ia juga telah berkata dengan ilmu yang sesuai dengan Al Quran
dan As Sunnah serta apa-apa yang sesuai dengan hikmah, realita, dan pemahaman
Ahli Bashirah, Allah berfirman :
“Hai orang-orang yang beriman, jangan kamu ambil menjadi
teman kepercayaanmu orang-orang yang bukan golonganmu (sebab) mereka senantiasa
menimbulkan bahaya bagi kamu dan mereka senang dengan apa yang menyusahkanmu.”
(QS. Ali Imran : 118) ]
168. Imam Abu Daud As Sijistaniy berkata, saya berkata
kepada Imam Abu Abdillah Ahmad bin Hanbal (jika) saya melihat seorang Sunniy
bersama ahli bid’ah apakah saya tinggalkan ucapannya?
Beliau menjawab : “Tidak. Sebelum kamu terangkan kepadanya
bahwa orang yang kamu lihat bersamanya itu adalah ahli bid’ah. Maka jika ia
menjauhinya, tetaplah bicara dengannya dan jika tidak mau gabungkan saja
dengannya (anggap saja ia ahli bid’ah). Ibnu Mas’ud pernah berkata, seseorang
itu (dinilai) siapa teman dekatnya.” (Thabaqat Hanabilah 1/160 no 216)
169. Ibnu Taimiyyah mengatakan :
“Dan siapa yang selalu berprasangka baik terhadap mereka
(ahli bid’ah) --dan mengaku belum mengetahui keadaan mereka-- kenalkanlah ahli
bid’ah itu padanya maka jika ia telah mengenalnya namun tidak menampakkan
penolakan terhadap mereka, gabungkanlah ia bersama mereka dan anggaplah ia dari
kalangan mereka juga.” (Al Majmu’ 2/133)
170. Utbah Al Ghulam berkata :
“Barangsiapa yang tidak bersama kami maka dia adalah lawan
kami.” (Al Ibanah 2/437 nomor 487)
171. Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam bersabda :
“Ruh-ruh itu adalah juga sepasukan tentara maka yang saling
mengenal akan bergabung dan yang tidak mengenal akan berselisih.” (HR. Al
Bukhary 3158 dan Muslim 2638)
172. Al Fudlail bin Iyyadl mengomentari hadits ini dengan
berkata :
“Tidak mungkin seorang Sunniy akan berbasa-basi kepada ahli
bid’ah kecuali jika ia dari kalangan munafiq.” (Lihat Ar Rad Alal Mubtadi’ah li
Ibni Al Banna)
173. Ibnu Mas’ud berkata :
“Jika seorang Mukmin memasuki mesjid yang di dalamnya
berkumpul 100 orang dan yang muslim hanya satu ia tentu akan masuk ke dalamnya
lalu duduk di dekatnya dan jika seorang munafiq memasuki mesjid yang di
dalamnya berkumpul 100 orang dan hanya terdapat satu orang munafiq juga ia akan
tetap masuk dan duduk di dekatnya.”
174. Hammad bin Zaid mengatakan, Yunus berkata kepadaku :
“Hai Hammad, sesungguhnya jika saya melihat seorang pemuda
berada di atas perkara yang mungkar saya tetap tidak akan berputus-asa
mengharapkan kebaikannya kecuali bila saya melihatnya duduk bersama ahli bid’ah
maka ketika itu saya tahu kalau dia binasa.” (Al Kifayah 91, Syarh Ilal At
Tirmidzy 1/349)
175. Ahmad bin Hanbal berkata :
“Jika kamu melihat seorang pemuda tumbuh bersama Ahli Sunnah
wal Jamaah maka harapkanlah (kebaikannya) dan jika kamu lihat dia tumbuh
bersama ahli bid’ah maka berputus-asalah kamu dari (mengharap kebaikan)nya.
Karena sesungguhnya pemuda itu tergantung di atas apa ia pertama kali tumbuh.”
(Al Adabus Syari’ah Ibnu Muflih 3/77)
176. Dlamrah bin Rabi’ah berkata, (saya mendengar) dari Ibnu
Syaudzab Al Khurasaniy berkata :
“Sesungguhnya di antara kenikmatan yang Allah berikan kepada
para pemuda ialah ketika ia beribadah dan bersaudara dengan seorang Ahli
Sunnah. Dan ia akan bergabung bersamanya di atas As Sunnah.” (Al Ibanah 1/205
nomor 43 dan Ash Shughra 133 nomor 91 dan Al Lalikai 1/60 nomor 31)
177. Dari Abdullah bin Syaudzab dari Ayyub ia berkata :
“Termasuk kenikmatan bagi seorang pemuda dan orang-orang non
Arab ialah jika Allah menurunkan taufiq kepada mereka untuk mengikuti orang
yang berilmu di kalangan Ahli Sunnah.” (Al Lalikai 1/60 nomor 30)
BAB 18 : Bukanlah Ghibah Menceritakan Keadaan Ahli Bid’ah
Menurut Salafus Shalih
178. Dari Al A’masy dari Ibrahim ia berkata :
“Bukanlah ghibah menceritakan keadaan ahli bid’ah.” (Al
Lalikai 1/140 nomor 276)
179. Al Hasan Al Bashry berkata :
“Menerangkan keadaan ahli bid’ah dan kefasikan orang yang
berbuat fasiq terang-terangan bukan perbuatan ghibah.” (Al Lalikai nomor
279-280)
180. Dan kata beliau selanjutnya :
“Bukanlah ghibah menceritakan kesalahan (aib) ahli bid’ah.”
(Ibid nomor 279-280)
181. Al Fudlail bin Iyyadl berkata :
“Siapa yang masuk kepada ahli bid’ah maka tidak ada
kehormatan baginya.” (Al Lalikai nomor 282)
182. Dari Sufyan bin Uyainah berkata, Syu’bah pernah berkata
:
“Kemarilah kita (berbuat) ghibah di jalan Allah Azza wa
Jalla.” (Al Kifayah 91 dan Syarah Ilal At Tirmidzy 1/349)
183. Dari Abi Zaid Al Anshary An Nahwiy berkata, Syu’bah
mendatangi kami pada waktu turun hujan dan berkata :
“Ini bukanlah hari (pelajaran) hadits, hari ini adalah hari
ghibah, marilah melakukan ghibah tentang para pembohong itu.” (Al Kifayah 91)
184. Dari Makky bin Ibrahim ia berkata, Syu’bah mendatangi
Imran bin Hudair dan berkata : “Hai Imran, marilah kita ghibah sesaat di jalan
Allah Azza wa Jalla.”
Kemudian mereka menyebut-nyebut kejelekan (kesalahan) para
perawi hadits. (Al Kifayah 91)
185. Abu Zur’ah Ad Dimasyqi berkata, saya mendengar Abu
Mushir (ketika) ditanya tentang seorang rawi yang keliru dan kacau serta
menambah-nambah dalam meriwayatkan hadits, ia berkata : “Terangkan keadaan
orang itu!”
Maka saya bertanya kepada Abu Zur’ah : “Apakah itu tidak
Anda anggap ghibah?”
Ia menjawab : “Tidak.” (Syarh Ilal At Tirmidzy 1/349 dan Al
Kifayah 91 dan 92)
186. Ibnul Mubarak berkata : “Al Ma’la bin Hilal adalah rawi
hanya saja jika datang satu hadits ia berdusta (berbuat dusta dengan hadits
itu).”
Seorang Sufi berkata : “Hai Abu Abdirrahman, Anda berbuat
ghibah?”
Maka beliau menjawab : “Diamlah kau! Jika kami tidak
menerangkan hal ini bagaimana mungkin dapat diketahui mana yang haq mana yang
bathil?” (Al Kifayah 91 dan 92 dan Syarh Ilal At Tirmidzy 1/349)
187. Abdullah bin (Imam) Ahmad bin Hanbal berkata, Abu Turab
An Nakhsyabi datang kepada ayahku lalu beliau mulai berkata : “Si Fulan dlaif,
si Fulan tsiqah.”
Berkatalah Abu Turab : “Wahai Syaikh, janganlah mengghibah
ulama.”
Ayahku segera menoleh ke arahnya dan berkata : “Celakalah
kamu! Ini adalah nasihat bukan ghibah.” (Al Kifayah 92 dan Syarh Ilal At
Tirmidzy 1/350)
188. Muhammad bin Bundar As Sabbak Al Jurjaniy berkata, saya
mengatakan kepada Imam Ahmad bahwa sangat berat bagi saya untuk mengatakan si
Fulan dlaif, si Fulan pendusta.
Maka beliau berkata : “Jika kamu diam dalam perkara ini dan
saya juga diam maka siapa lagi yang akan menerangkan kepada orang-orang yang
awam mana hadits yang shahih dan mana yang lemah?!” (Al Kifayah 92, Syarh Ilal
At Tirmidzy, dan Majmu’ Fatawa Ibnu Taimiyyah 28/231)
189. Dari Syaudzab (katanya) dari Katsir Abu Sahl ia berkata
:
“Dikatakan bahwa ahli ahwa (ahli bid’ah) itu tidak mempunyai
kehormatan.” (Al Lalikai 1/140 nomor 281)
190. Dari Al Hasan bin Aly Al Iskafy ia berkata, saya
bertanya kepada Imam Abu Abdillah Ahmad bin Hanbal tentang pengertian ghibah,
beliau menerangkan : “Ghibah itu ialah jika kamu tidak menolak aib seseorang.”
Saya bertanya lagi, bagaimana dengan seorang yang mengatakan
: “Si Fulan tidak mendengar hadits dari seseorang dan si Fulan keliru?”
Beliau menjawab : “Seandainya hal ini ditinggalkan manusia
maka tidak akan pernah diketahui shahih atau tidaknya suatu hadits.” (Syarh
Ilal At Tirmidzy 1/350)
191. Ismail Al Khathaby berkata, Abdullah bin (Imam) Ahmad
menceritakan kepada kami bahwa ia berkata kepada ayahandanya :
“Apa yang Anda katakan mengenai para rawi yang mendatangi
seorang syaikh yang barangkali ia seorang Murjiah atau Syi’iy atau dalam diri
syaikh itu terdapat perkara yang menyelisihi As Sunnah apakah ada kelonggaran
buat saya untuk diam dalam hal ini ataukah saya harus memperingatkan manusia
agar berhati-hati dari syaikh ini?”
Ayahku menjawab : “Jika ia mengajak orang kepada bid’ah
sedangkan dia adalah imam ahli bid’ah maka benar kamu harus memperingatkan
manusia dari syaikh ini.” (Al Kifayah 93 dan Syarh Ilal At Tirmidzy 1/350)
BAB 19 : Pengaruh Buruk Akibat Memuji Ahli Bid’ah
192. Abul Walid Al Baji dalam Kitabnya, Ikhtishar Firaqil
Fuqaha ketika menyebutkan keadaan Abu Bakar Al Baqillaniy mengatakan : “Abu
Dzar Al Harawy telah menceritakan kepadaku bahwa ia condong kepada madzhab Al
Asy’ari.”
Maka saya tanyakan dari mana ia dapatkan madzhab ini.
Katanya : “Saya pernah berjalan bersama Abu Al Hasan Ad Daraquthniy dan kami
bertemu dengan Abu Bakr bin Ath Thayyib Al Qadli lalu Ad Daraquthniy memeluknya
dan mencium wajah dan kedua matanya maka setelah kami berpisah saya bertanya
siapa laki-laki tadi?”
Ia menjawab : “Imamnya kaum Muslimin, pembela Islam, (yaitu)
Al Qadli Abu Bakr bin Ath Thayyib.”
Abu Dzar berkata : “Sejak saat itu saya berulang-ulang
mendatanginya bersama ayahku dan akhirnya kami mengikuti madzhabnya.” (At
Tadzkirah 3/1104-1105 dan As Siyar 17/558-559)
Saya berkata : “Ini merupakan istidlal (pengambilan dalil)
yang jelas sekali. Karena jika seorang alim diam dalam permasalahan ahli bid’ah
dan tidak menerangkan kebid’ahan mereka maka ia akan membahayakan orang lain
yang jahil hingga akhirnya mereka dapat terjatuh dalam kebida’ahan pula.
Dan yang lebih berbahaya serta lebih pahit lagi dari diamnya
itu adalah apabila keluar ungkapan-ungkapan pujian dan sanjungan terhadap ahli
bid’ah yang mungkin (pada dirinya) tampak keshalihan dan ketaqwaan.”
BAB 20 : Hukuman Terhadap Ahli Bid’ah
193. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah mengatakan :
“Dan wajib dikenakan hukuman terhadap orang-orang yang
menisbatkan dirinya kepada ahli bid’ah, membela dan memuji mereka atau
menyanjung dan mengagungkan tulisan-tulisan mereka atau mengemukakan alasan
bahwa ucapan (bid’ah) ini tidak dapat difahami apa maksudnya? Atau
mempertanyakan benarkah mereka yang menulis kitab ini? Dan alasan-alasan yang
seperti ini yang sesungguhnya tidak akan diucapkan kecuali oleh orang yang
jahil atau munafiq. Bahkan wajib pula dihukum setiap orang yang sudah
mengetahui keadaan mereka tetapi tidak membantu menegakkan hukuman itu terhadap
mereka (ahli bid’ah) itu maka sesungguhnya menegakkan hukuman terhadap orang-orang
yang seperti ini merupakan kewajiban yang sangat agung. Karena mereka merusak
akal dan agama seluruh makhluk dari kalangan masyayikh, para ulama, raja-raja
dan para pemimpin bahkan menyebarluaskan kerusakan di muka bumi ini dan
menghalangi manusia dari jalan Allah.” (Majmu’ Fatawa 2/132)
194. Syaikh Bakr Abu Zaid mengomentari ucapan beliau dengan
mengatakan :
“Semoga Allah merahmati Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dan
memberinya minum dari mata air Jannah Salsabil (Aamiin). Sesungguhnya ucapan
beliau ini benar-benar berada pada puncak ketelitian dan urgensi (kepentingan)
yang sangat tinggi dan ini meskipun ditujukan khusus untuk menghadapi
orang-orang sesat dari kalangan Al Ittihadiyyah (paham manunggaling kawulo
gusti) namun ternyata berlaku juga terhadap seluruh firqah sempalan (dahulu dan
sekarang). Maka siapa pun yang mendukung tindakan ahli bid’ah, menghormatinya
dan memuliakan karya-karya mereka dan menyebarkannya di tengah-tengah kaum
Muslimin dan membanggakannya serta ikut menyiarkan bid’ah dan kesesatan yang
ada di dalamnya dan tidak membongkar cacat dan (tidak pula menjelaskan)
penyimpangan aqidah yang terdapat di dalamnya (jika ia melakukan hal ini)
berarti ia meremehkan perintah ini. Wajib dihentikan kejahatannya itu agar
tidak menimpa (menular) kepada kaum Muslimin.
Dan kita pun telah diuji pada masa ini dengan
(didatangkannya) orang-orang yang berjalan di atas metode ini yakni mereka
memuliakan ahli bid’ah (mubtadi’) menyebarkan ucapan-ucapan mereka tanpa
memberi peringatan atas kekeliruan para mubtadi’ tersebut juga kesesatan jalan
yang dilaluinya. (Bahkan di antara mereka ada yang menganggap ahli bid’ah dan
pekerjaan-pekerjaan mereka mengandung kebaikan dan layak untuk dibaca dan
diperhatikan, pent.). Oleh sebab itu peringatkanlah untuk menjauhi para
pimpinan kebodohan pelaku bid’ah (mubtadi’) ini. Dan kita berlindung kepada
Allah dari kehinaan dan orang-orangnya.” (Hijrul Mubtadi’ 48-49)
195. Rafi’ bin Asyras berkata :
“Hukuman orang fasiq yang (juga) mubtadi’ adalah jangan
menyebut kebaikan-kebaikannya.” (Syarh Ilal At Tirmidzy 1/353)
196. Asy Syathibi berkata :
“Maka sesungguhnya golongan yang selamat --Ahlussunnah--
mereka diperintah untuk menunjukkan permusuhan terhadap ahli bid’ah, menjauhi
mereka, dan menjatuhkan sanksi terhadap orang-orang yang bergabung dengan ahli
bid’ah dengan hukuman mati atau yang lebih rendah dari itu. Sesungguhnya para
ulama telah memperingatkan ummat agar jangan berteman dan duduk dengan mereka
karena hal itu merupakan sebab timbulnya permusuhan dan kebencian. Akan tetapi
tindakan demikian hanya berlaku terhadap mereka yang menjadi sebab seseorang
keluar dari Al Jamaah dengan bid’ahnya dan tidak mengikuti jalan kaum Mukminin
bukan karena permusuhan secara mutlak (umum). Bagaimana tidak? Kita diperintah
untuk memusuhi mereka dan sebaliknya mereka diperintah untuk loyal (setia dan
tunduk) kepada kita dan kembali kepada Al Jamaah?!” (Al I’tisham 158-159)
197. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata :
“Adapun dai yang mengajak ummat menuju bid’ah sangat pantas
(berhak) mendapat sanksi berdasarkan kesepakatan kaum Muslimin dan sanksi itu
dapat berupa hukuman bunuh (diperangi) dan terkadang dapat pula dengan selain
itu. Dan apabila dengan pertimbangan tertentu seorang mubtadi’ belum pantas
diberi sanksi atau tidak mungkin mendapat hukuman maka --mau tidak mau--
haruslah dijelaskan kepada ummat kebida’ahannya dan mengingatkan mereka agar
menjauhinya karena hal ini termasuk dalam perbuatan amar ma’ruf nahy munkar
yang diperintahkan oleh Allah dan Rasul-Nya.” (Majmu’ Fatawa 35/414)
BAB 21 : Titik (Tujuan) Akhir Ahli Bid’ah Dan Sifat-Sifat
Mereka
198. Dari Abu Qilabah ia berkata :
“Tidaklah seseorang berbuat bid’ah melainkan (suatu saat) ia
akan menganggap halal menghunus pedang (menumpahkan darah).” (Al I’tisham 1/112
dan Ad Darimy 1/58 nomor 99)
199. Ayyub menamakan para mubtadi’ itu (sebagai) Khawarij
dan ia menyatakan bahwa sesungguhnya orang-orang Khawarij itu nama dan julukan
mereka berbeda namun mereka bersepakat dalam menghalalkan darah kaum Muslimin.
(Al I’tisham 1/113)
200. Abu Qilabah berkata :
“Sesungguhnya ahlul ahwa itu adalah orang-orang yang sesat
dan saya tidak menganggap ada tempat kembali mereka selain neraka.” (Al
I’tisham 1/112 dan Ad Darimy 1/158)
201. Seseorang berkata kepada Ibnu Abbas : “Segala puji
hanya bagi Allah yang telah menjadikan hawa nafsu kami (berjalan) di atas hawa
nafsu kalian (para shahabat).”
Ibnu Abbas menukas : “Sesungguhnya Allah tidak menjadikan
kebaikan sedikitpun di dalam hawa nafsu ini. Dan ia dinamakan hawa karena ia
menjerumuskan pemiliknya ke dalam neraka.” (Asy Syarhu wal Ibanah 123 nomor 62)
202. Pendapat tersebut juga berasal dari Al Hasan Al Bashry,
Mujahid, Abul Aliyah, dan Asy Sya’bi. (Asy Syarhu 124 nomor 63 dan Ad Darimy
1/120 nomor 395)
203. Ibnu Sirin berpendapat bahwa orang yang paling segera
murtad adalah ahlul ahwa (mubtadi’). (Al I’tisham 1/113)
204. Dari Abi Ghalib dari Umamah, ia berkata mengenai ayat :
“Lalu mereka mengikuti ayat-ayat yang mutasyabihat (samar)”
(QS. Ali Imran : 7)
Bahwa ayat ini menerangkan keadaan orang Khawarij dan para
ahli bid’ah. (Al Ibanah 2/606 nomor 783)
205. Dari Ma’mar dari Qatadah ia menerangkan maksud ayat :
“Adapun orang-orang yang di hatinya terdapat zaigh
(kecenderungan kepada kesesatan)”
Ia berkata : “Jika yang dimaksud ayat ini bukan Khawarij dan
kaum Sabaiyyah, saya tidak tahu lagi siapa mereka. Demi Allah, seandainya orang
Khawarij itu di atas hidayah tentulah mereka akan bersatu namun ternyata mereka
di atas kesesatan maka mereka bercerai-berai. Begitupula segala perkara yang
bukan berasal dari sisi Allah tentu akan terdapat di dalamnya perselisihan yang
sangat banyak. Demi Allah sungguh Haruriyyah itu benar-benar bid’ah dan
Sabaiyyah juga benar-benar bid’ah yang tidak pernah ada dalam satu kitab pun
dan tidak pula disunnahkan oleh seorang Nabi pun.”
Ibnu Baththah Al Ukbary berkata : “Al Haruriyyah adalah
Khawarij dan As Sabaiyyah adalah kaum Rafidliy pengikut Abdullah bin Saba’ yang
dibakar oleh Aly bin Abi Thalib dan hanya tertinggal sebagian di antara
mereka.” (Al Ibanah 2/607 nomor 785)
206. Dari Ayyub dari Abu Qilabah ia berkata :
[ Sesungguhnya ahlil ahwa adalah orang-orang yang sesat.
Saya menganggap tidak ada tempat kembali mereka selain neraka. Cobalah kalian uji
mereka maka tidak ada satu pun dari mereka yang meyakini suatu ucapan atau
berpendapat dengan satu pendapat lalu urusan mereka berakhir kecuali dengan
pedang (menumpahkan darah). Dan sesungguhnya karakter kemunafikan itu
beraneka-ragam modelnya. Kemudian ia membaca :
“Di antara mereka ada yang mengikat janji kepada Allah.”
(QS. At Taubah : 75)
“Di antara mereka ada yang mencelamu dalam (pembagian)
zakat.” (QS. At Taubah : 58)
“Dan di antara mereka ada yang menyakiti Nabi.” (QS. At
Taubah : 61)
Ucapan mereka berbeda-beda namun mereka bersatu dalam
keraguan, kedustaan, dan pedang (penumpahan darah kaum Muslimin). Dan saya
menganggap bahwa tempat kembali mereka tidak lain adalah neraka. ] (Ad Darimy
1/58 nomor 100)
Kemudian Ayyub mengatakan : “Abu Qilabah adalah --demi
Allah-- salah seorang dari para fuqaha’ yang berakal (cerdas).”
207. Sa’id bin Anbasah berkata :
“Tidak akan ada seseorang yang mengerjakan suatu kebid’ahan
kecuali dengki hatinya terhadap kaum Muslimin dan tercabut amanah dari
dirinya.” (Ibanah Ash Shughra 135 nomor 98-100)
208. Al Auza’iy berkata :
“Tidaklah seseorang berbuat suatu bid’ah melainkan hilang
sikap wara’-nya.” (Ibid)
209. Al Hasan Al Bashry berkata :
“Tidaklah seseorang berbuat suatu bid’ah melainkan
keimanannya akan berlepas diri darinya.” (Ibid)
210. Imam Al Barbahary berkata (Syarhus Sunnah halaman 122)
:
“Dan ketahuilah sesungguhnya hawa nafsu itu semuanya rendah
dan selalu mengajak kepada pedang (penumpahan darah).”
Saya (Jamal) berkata : “Engkau lihat firqah-firqah dan hizb
(golongan) yang ada dewasa ini seperti Ikhwanul Muslimin, Sururiyyah, Al Jabhah
(di Aljazair), Tandhimul Jihad, Firqah At Turabi, Hizb Mas’udi dan lain-lain di
manapun juga. Seolah-olah mereka berselisih sesama mereka namun (ternyata)
mereka bersepakat dalam (urusan) pedang yaitu menghalalkan darah kaum Muslimin
dan memusuhi Ahlus Sunnah.”
BAB 22 : Adakah Taubat Bagi Ahli Bid’ah?
211. Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam bersabda :
“Sesungguhnya Allah menghalangi taubat dari ahli bid’ah.”
(Dishahihkan Syaikh Al Albani dalam Ash Shahihah nomor 1620)
212. Dari Abu Amru Asy Syaibani ia berkata :
“Selalu dikatakan bahwa Allah enggan (menolak) memberi
taubat kepada ahli bid’ah dan ia tidak berpindah kecuali menuju yang lebih
jelek lagi.” (Ibnu Wadldlah 61 dan 62)
213. Dari Ibnu Syaudzab ia berkata, saya mendengar Abdullah
bin Al Qasim berkata :
“Tidaklah seorang hamba yang berada di atas hawa nafsu lalu
ia meninggalkannya melainkan ia berpindah kepada yang lebih jelek lagi.”
Kemudian saya menyebutkan hadits ini (hadits pada poin 211)
kepada sebagian shahabat kami lalu katanya :
[ Pembenarannya terdapat dalam hadits Rasulullah Shallallahu
'Alaihi Wa Sallam yang mengatakan :
Mereka lepas dari agama ini seperti lepasnya panah (menembus
keluar) dari sasarannya dan tidak akan kembali sampai mati.” ] (Ibnu Wudldlah :
61-62)
214. Dari Hammad bin Zaid dari Ayyub ia berkata, ada
seseorang yang berpendapat dengan satu pendapat lalu kembali dan
meninggalkannya maka saya mendatangi Muhammad (bin Sirin) dengan gembira untuk
menyampaikan berita ini kepada beliau dan mengatakan : “Bagaimana perasaanmu
bahwa si Fulan telah meninggalkan pemikirannya yang selama ini dianutnya?”
Beliau menjawab : “Perhatikanlah ke mana dia berpindah,
sesungguhnya penutup hadits (tentang Khawarij, ed.) ini lebih keras lagi
terhadap mereka dibanding awalnya yaitu mereka lepas dari agama Islam dan tidak
akan kembali kepadanya.” (Ibid)
215. Dari Mu’awiyah bin Shalih (ia mengatakan) bahwa Al Hasan
bin Abil Hasan Al Bashry berkata :
“Allah Yang Maha Suci dan Maha Tinggi enggan memberi izin
ahli bid’ah untuk bertaubat.” (Al Lalikai 1/141 nomor 285)
216. Seseorang berkata kepada Ayyub : “Hai Abu Bakr,
sesungguhnya Amru bin Ubaid sudah kembali meninggalkan pemikirannya.”
Beliau berkata : “Sesungguhnya ia tidak akan kembali.”
Orang itu berkata lagi : “Benar. Sungguh ia telah kembali!”
Ayyub berkata pula :
[ Sungguh dia tidak akan kembali --diulanginya tiga kali--.
Ketahuilah bahwa dia tidak akan kembali. Tidakkah kamu mendengar sabda
Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam (ketika beliau berkata) :
“Mereka lepas dari agama ini seperti keluarnya anak panah
dari buruannya (sasarannya) yang kemudian tidak akan kembali sampai mati.” ]
(Al Lalikai nomor 286)
217. Abdullah bin Al Mubarak berkata :
“Wajah ahli bid’ah itu diliputi kegelapan (tidak bercahaya)
meskipun ia meminyakinya sehari tiga kali.” (Al Lalikai nomor 284)
218. Dari Ibnul Mubarak dari Al Auza’i dari Atha’ Al
Khurasani sesungguhnya ia berkata :
“Hampir-hampir Allah itu tidak mengizinkan ahli bid’ah itu
taubat.” (Al Lalikai 283)
219. Sufyan Ats Tsaury berkata :
“Bid’ah itu lebih dicintai iblis daripada kemaksiatan karena
(pelaku) maksiat dapat (diharapkan) bertaubat sedangkan (pelaku) bid’ah tidak
dapat (diharapkan) untuk bertaubat.” (Majmu’ Fatawa 11/372)
BAB 23 : Sebab-Sebab Jatuhnya Seseorang Kepada Bid’ah Dan
Hawa Nafsu
220. Ibnu Baththah Al Ukbary berkata :
“Saya pernah melihat sekelompok manusia yang dahulunya
melaknat dan mencaci ahli bid’ah lalu mereka duduk bersama ahli bid’ah untuk
mengingkari dan membantah mereka dan terus menerus orang-orang itu
bermudah-mudah sedangkan tipu daya itu sangat halus (tersamar) dan kekafiran
sangat lembut (merambat) dan akhirnya tercurah kepada mereka.” (Al Ibanah
2/470)
221. Muhammad bin Al Ala’ Abu Bakr menceritakan kepada kami
dari Mughirah ia berkata, Muhammad bin As Saib keluar --dan ia bukan ahli
bid’ah-- ia berkata :
“Pergilah bersama kami sampai kita mendengar ucapan mereka
(ahli bid’ah)”, maka ia tidak kembali sampai akhirnya ia menerima kebid’ahan
itu dan hatinya terikat dengan ucapan mereka.” (Al Ibanah 2/470 nomor 476-477
dan Tahdzibut Tahdzib 8/113)
222. Al Ashma’i berkata :
“Mu’tamir menceritakan kepada kami dari Utsman Al Buty, ia
berkata bahwa Imran bin Haththan adalah seorang Sunniy lalu datang pelayan dari
penduduk Amman seperti bighal (seorang mubtadi’, ed.) maka ia membalikkan
hatinya di tempat duduknya (berubah saat itu juga, ed.).” (Bayan Fadlli Ilmis
Salaf halaman 36)
223. Abu Hatim berkata, diceritakan kepadaku dari Abu Bakr
bin Ayyasy, ia berkata, Mughirah mengatakan bahwa Muhammad bin As Saib berkata
:
“Marilah kita menuju ke tempat orang Murjiah agar mendengar
ucapan mereka.”
(Kata Mughirah) akhirnya ia tidak kembali sampai hatinya
terpaut dengan ucapan itu. (Al Ibanah 2/462-471 nomor 449 dan 480)
BAB 24 : Pedoman Agar Tidak Jatuh Kepada Kebid’ahan Dan Hawa
Nafsu
224. Ahmad bin Abil Hawary berkata, Abdullah bin As Sariy
--seorang yang khusyu’ dan belum pernah saya dapati orang yang lebih khusyu’
daripadanya-- ia berkata :
“Bagi kami bukanlah dikatakan Sunnah jika kamu membantah
ahli bid’ah namun Sunnah itu adalah bahwa kamu tidak mengajak ahli bid’ah berbincang-bincang.”
(Al Ibanah 2/471 nomor 478 dan 479)
225. Hammad bin Zaid dari Ayyub ia berkata :
“Tidak ada bantahanku terhadap mereka yang lebih keras
daripada diamku (tidak mengajak mereka berbicara, ed.).” (Ibid)
226. Abu Abdillah bin Baththah berkata :
[ Allah, Allah, wahai kaum Muslimin, janganlah ada seorang
pun dari kalian yang terbawa oleh sikap baik sangka terhadap dirinya sendiri
atau oleh pengetahuannya tentang madzhab yang benar untuk (mencoba) masuk ke
dalam bahaya yang mengancam agamanya (seandainya) ia duduk dengan ahli bid’ah
lalu ia berkata :
“Saya akan menemui mereka untuk mematahkan hujjah mereka
atau saya akan membuat mereka keluar dari madzhab mereka yang rusak ini.”
Sebab sesungguhnya ahli bid’ah itu lebih berbahaya dari
dajjal dan ucapan mereka lebih melekat dari penyakit kudis bahkan lebih
membakar dari lidah api. ] (Ibid)
227. Imam Ahmad berkata :
“Yang selalu kami dengar dan kami dapatkan dari uraian Ahli
Ilmu bahwa mereka sangat membenci perbincangan dan duduk dengan ahli zaigh dan
sesungguhnya perkara penting dalam agama ini adalah sikap menerima (tunduk) dan
kembali kepada apa yang terdapat dalam Al Quran dan As Sunnah bukan duduk-duduk
dengan ahli bid’ah dan ahli zaigh untuk membantah argumentasi mereka karena
sesungguhnya mereka tentu akan mengelabui kamu sedangkan mereka tidak akan
kembali (kepada yang haq). Maka yang selamat --Insya Allah-- adalah dengan
meninggallkan majelis mereka dan tidak membahas bid’ah dan kesesatan mereka.”
(Al Ibanah 2/472 nomor 481)
BAB 25 : Membantah Ahli Bid’ah Harus Dengan As Sunnah
228. Umar bin Al Khaththab berkata :
“Akan datang orang-orang yang akan mendebatmu dengan
ayat-ayat mutasyabihat dari Al Quran maka bantahlah mereka dengan As Sunnah
karena sesungguhnya Ahlus Sunnah paling tahu kandungan Kitab Allah Azza wa
Jalla.” (Al Hujjah 1/313, Asy Syari’ah 58, Ad Darimy 1/62 nomor 119, Al Lalikai
1/123 nomor 202, Al Ibanah 1/250 nomor 83 dan 84, Al Baghawy 1/202)
229. Ini juga dikatakan Aly bin Abi Thalib. (Al Lalikai
1/123 nomor 203 dan Al Hujjah 1/313)
230. Ibnu Rajab Al Hanbaly menukil keterangan sebagian ulama
Salafus Shalih bahwa dikatakan kepadanya : “Bolehkah seseorang yang mempunyai
ilmu tentang As Sunnah membantah ahli bid’ah?” Ia menjawab : “Tidak! Tapi
hendaknya ia menerangkan As Sunnah itu kalau diterima itu lebih baik baginya
dan jika tidak maka (sebaiknya) ia diam saja (jangan berdebat, ed.).” (Bayanu
Fadlli Ilmis Salaf ala Ilmil Khalaf halaman 36)
231. Ibnu Baththah Al Akbary berkata :
“Hendaknya bekalmu untuk membimbing dan menghentikan bid’ah
bersumber dari Al Quran dan As Sunnah serta Atsar yang shahih yang datang dari
ulama ummat ini baik dari shahabat maupun tabi’in.” (Al Ibanah 2/541)
BAB 26 : Shifat Al Ghuraba’
232. Al Fudlail bin Iyyadl berkata :
“Ikutilah jalan-jalan petunjuk! Dan tidak akan merugikanmu
meskipun sedikit orang yang menempuhnya. Sebaliknya jauhilah jalan-jalan
kesesatan! Dan jangan tertipu dengan banyaknya orang-orang yang celaka di
dalamnya.” (Al I’tisham 1/112)
233. Al Hasan Al Bashry berkata :
“Amal yang sedikit dalam Sunnah lebih baik daripada amalan
yang banyak di dalam bid’ah.” (Tahdzibut Tahdzib 10/180)
234. Beliau juga berkata :
“Wahai Ahlus Sunnah, berteman baiklah kalian! --Semoga Allah
merahmati kamu-- sesunggguhnya kalian adalah kelompok manusia yang sangat
sedikit jumlahnya.” (Al Lalikai 1/57 nomor 19)
235. Dari Yunus bin Ubaid ia berkata :
“Seorang yang disampaikan kepadanya As Sunnah kemudian
menerimanya akhirnya menjadi orang yang asing namun lebih asing lagi adalah
yang menyampaikannya. (Beruntunglah orang-orang yang asing, pent.).” (Al
Lalikai 1/58 nomor 21 dan Al Hilyah Abu Nu’aim 3/12)
236. Abu Idris Al Khulaniy berkata :
“Saya mendengar bahwa dalam Islam ini terdapat tali tempat
bergantung manusia dan tali itu akan terurai seutas demi seutas tali maka yang
pertama terlepas dari tali itu adalah sifat halim (lemah-lembut) dan yang
paling akhir adalah shalat.” (Ibnu Wudldlah 73)
237. Dari Ibnul Mubarak dari Sufyan Ats Tsauri ia berkata :
“Berwasiatlah kamu terhadap Ahlis Sunnah dengan kebaikan
karena sesungguhnya mereka adalah Ghuraba’ (orang-orang yang asing).” (Al
Lalikai 1/644 nomor 49-50)
238. Dari Yusuf bin Asbath ia berkata, saya mendengar Sufyan
Ats Tsauri berkata :
“Jika kamu mendengar berita bahwa di belahan bumi timur ada
seorang Ahli Sunnah dan di barat ada seorang Ahli Sunnah, kirimkanlah salam
buat keduanya dan doakan kebaikan untuk mereka! Sungguh alangkah sedikitnya
Ahlus Sunnah wal Jamaah itu.” (Ibid)
BAB 27 : Menilai Seseorang Dengan Kecintaan dan Kebenciannya
Terhadap Ahlus Sunnah
239. Dari Ibnul Madiniy ia berkata bahwa saya mendengar
Abdurrahman bin Mahdi berkata :
“Jika kamu lihat seseorang mencintai Ibnu Aun di kalangan
penduduk Bashrah maka percayailah dia. Dan di kalangan penduduk Kufah, Malik
bin Mighwal dan Zaidah bin Qudamah maka jika kamu lihat orang mencintai mereka
harapkanlah kebaikannya. Demikian pula jika kamu lihat orang mencintai Al
Auza’i dan Abu Ishaq Al Fazary di Syam serta Malik bin Anas di Hijaz.” (Al
Lalikai 1/62 no 41)
240. Ibnu Mahdy berkata :
“Jika kamu lihat ada penduduk Syam mencintai Al Auza’i dan
Abu Ishaq Al Fazary harapkanlah kebaikannya.” (Al Jarh wa Ta’dil 1/217)
241. Ia juga berkata :
“Jika kamu lihat ada penduduk Syam mencintai Al Auza’i dan
Abu Ishaq Al Fazary maka ia adalah Ahlus Sunnah.” (Ibid)
242. Dari Ahmad bin Yunus dari Ats Tsaury ia berkata :
“Ujilah sikap penduduk Mosul terhadap Al Mu’afy bin Imran.”
(Tahdzibut Tahdzib 10/180)
243. Imam Al Barbahary berkata :
“Menguji keadaan seseorang di dalam Islam adalah bid’ah
adapun saat ini maka menguji dilakukan dengan Sunnah.” (Syarhus Sunnah 126
nomor 152 dan Thabaqat Hanabilah 2/38)
244. Dari Ahmad bin Zuhair ia berkata, saya mendengar Ahmad
bin Abdullah bin Yunus berkata :
“Ujilah penduduk Mosul dengan Al Mu’afy bin Imran. Jika
mereka mencintainya maka mereka adalah Ahli Sunnah dan sebaliknya apabila
mereka membencinya maka mereka adalah ahli bid’ah sebagaimana penduduk Kufah
juga diuji dengan (sikap mereka terhadap) Yahya.” (Al Lalikai 1/66 nomor 58)
BAB 28 : Beberapa Faedah, Nasihat, dan Adab
245. Yahya bin Mu’adz berkata :
[ Sejelek-jelek saudara adalah yang kamu sampai butuh
mengatakan :
“Ingatlah saya dalam doamu ... .”
Dan sebagian besar manusia pada hari ini hanya saling
mengenal jarang ada yang berteman secara zhahir apalagi persaudaraan dan
persahabatan. Ini adalah sesuatu yang telah lenyap. Maka janganlah kamu terlalu
mengharapkannya. Saya tidak tahu ada seseorang yang murni bersahabat dengannya
saudaranya senasab (keturunan) juga anak dan isterinya maka tinggalkanlah
keinginan untuk mencari persahabatan yang murni dan tulus. Jadilah orang yang
asing dan bergaullah sebagaimana bergaulnya Al Ghuraba’. Dan berhati-hatilah kamu
(jangan) tertipu oleh orang yang menampakkan rasa cinta kepadamu karena
sesungguhnya seiring perjalanan waktu akan tampak olehmu cacat cinta yang
ditunjukkannya.
Dan Al Fudlail bin Iyyadl berkata :
“Jika kamu ingin berteman dengan seseorang maka buatlah agar
ia marah maka jika kamu lihat keadaannya sesuai dengan syari’at maka
bertemanlah dengannya.”
Situasi saat ini sangat mengerikan sebab jika kamu
membuatnya marah maka ia akan menjadi musuhmu saat itu juga. Adapun penyebab
hilangnya persahabatan yang murni adalah kecintaan terhadap dunia yang
menguasai hati. Sedangkan Salafus Shalih, perhatian mereka senantiasa hanya
tertuju kepada akhirat maka mereka pun memurnikan niat dalam mencari saudara
dan mereka bergaul dengan sesamanya karena agama bukan karena dunia. Maka jika
kamu lihat berkaitan dengan masalah agama maka ujilah ketika ia marah. ]
(Adabus Syari’ah 3/581)
246. Al Qadhi Abu Ya’la berkata :
[ Jika kamu berjalan janganlah menoleh-noleh karena
pelakunya dapat dikatakan sebagai orang yang bodoh.
Syaikh Abdul Qadir berkata : “Bersiul dan bertepuk tangan
adalah dua hal yang dibenci. Begitu pula bersandarnya seseorang hingga keluar
dari posisi duduknya sebab hal itu adalah tindakan kesombongan dan menghina
teman duduk kecuali karena uzur dan juga dibenci menggigit-gigit (permen) karet
karena ini adalah perbuatan yang rendah. Juga dibenci tertawa terbahak-bahak
dan meninggikan suara tanpa ada kepentingannya. Dan sepantasnya seseorang itu
berjalan dengan sederhana (seimbang-tenang, pent.) tidak perlu terburu-buru
sehingga menabrak orang lain dan menyusahkan diri sendiri. Jangan pula berjalan
selangkah demi selangkah yang dapat menimbulkan rasa bangga terhadap diri
sendiri. Dan termasuk pula perkara yang dibenci adalah menangis meratap-ratap
dan menyanyikan lagu-lagu kematian kecuali jika itu karena takut kepada Allah
Subhanahu wata’ala dan menyesal karena kehilangan waktu yang sia-sia (tanpa
amal) yang juga merupakan perbuatan yang dibenci adalah membuka tutup kepala di
tengah-tengah manusia dan bagian tertentu yang bukan aurat namun biasanya
tertutup.” ] (Adabus Syari’ah 3/375)
247. Al Fudlail berkata :
“Saya lihat jiwaku ini ramah bergaul dengan mereka yang
dinamakan teman maka saya cari dari pengalaman ternyata kebanyakan mereka
adalah orang-orang yang iri (dengki) terhadap nikmat (kebahagiaan) temannya dan
mereka tidak menyembunyikan kekeliruan (zallah) temannya dan senang mengabaikan
hak teman duduknya juga tidak mau membantu temannya dengan harta mereka maka
sebab itu (ketika) saya perhatikan perkara ini ternyata kebanyakan teman itu
iri (dengki) dengan kenikmatan orang lain. Padahal Al Haq (Allah) Yang Maha
Suci sangat cemburu kepada hati seorang Mukmin yang cenderung jinak dengan
sesuatu (selain Allah) maka Ia keruhkan dunia dan penghuninya agar si Mukmin
hanya menyenangi- Nya (jinak kepada Allah).
Maka sepantasnya kamu menganggap semua makhluk itu sebagai
kenalan dan jangan kamu tampakkan rahasiamu kepada mereka. Jangan kamu anggap
sahabat orang yang tidak cocok untuk digauli tetapi pergaulilah mereka secara
zhahir.
Jangan bercampur dengan mereka kecuali dalam keadaan darurat
dan itupun sejenak saja kemudian tinggalkanlah mereka. Setelah itu hadapilah
urusanmu sambil berserah diri kepada Penciptamu (Allah) sebab sesungguhnya
tidak ada yang dapat mendatangkan kebaikan selain Allah dan tidak ada yang
dapat menolak kejelekan kecuali Dia.” (Al I’tisham 1/158)
248. Ia juga berkata :
“Apabila terjadi kekasaran di antara kamu dan seseorang maka
berhati-hatilah kamu darinya jangan kamu harapkan persahabatan yang murni dan
mempercayainya sebab sesungguhnya dia akan selalu memperhatikan tindak-tandukmu
sedangkan kedengkiannya tersembunyi. Adapun orang yang awam maka menjauh dari
mereka merupakan keharusan. Karena mereka tidak termasuk jenismu maka jika kamu
terpaksa duduk bersama dalam majelis mereka maka (lakukanlah) sesaat saja dan
jagalah kewibawaan dan kewaspadaanmu sebab bisa jadi kau mengucapkan satu kata
dan mereka menganggapnya sebagai sesuatu yang keji. Jangan kau menyuguhkan ilmu
kepada orang yang jahil dan (jangan pula) kamu suguhkan orang-orang yang lalai
(suka bermain-main) dengan fiqih dan orang yang dungu dengan keterangan (Al
Bayan) tapi perhatikanlah apa yang menyelamatkan mereka dengan lemah-lembut dan
berwibawa. Jangan meremehkan musuh-musuhmu karena mereka mempunyai tipu daya
yang tersembunyi dan kewajibanmu hanyalah bergaul dan berbuat baik kepada
mereka secara zhahir. Dan termasuk di antara mereka adalah orang-orang yang
dengki maka tidak pantas mereka mengetahui nikmat yang kamu dapatkan. Dan
sesungguhnya Al Ain itu haq sedangkan bergaul dengan mereka secara zhahir itu
harus.” (Al Hujjah 1/304)
249. Asy Syathibi berkata :
“Asal kerusakan ini --yaitu mencerca Salafus Shalih-- datang
dari Khawarij merekalah yang pertama melaknat Salafus Shalih bahkan
mengkafirkan shahabat -- radliyallahu anhum ajmaiin-- dan perbuatan yang
seperti ini semuanya menimbulkan permusuhan dan kebencian.” (Al I’tisham 1/158)
250. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata :
“Tidak ada seorangpun yang berhak menjadikan orang tertentu
sebagai panutan lalu mengajak manusia ke jalan (madzhabnya), bersikap loyal dan
memusuhi di atas jalan itu selain Nabi Muhammad Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam
dan tidak pula ada yang berhak melahirkan ucapan yang dijadikan pegangan
(pedoman) untuk bersikap loyal dan memusuhi selain Kalam Allah dan ucapan
Rasul-Nya dan apa yang telah disepakati oleh ummat (shahabat). Sebab hal itu
tidak lain merupakan perbuatan ahli bid’ah yang senang mengangkat orang tertentu
dan melontarkan suatu perkataan yang justru pada akhirnya memecah belah ummat.
Mereka menyerahkan loyalitasnya demi pendapat tersebut atau yang mereka
nisbatkan (sandarkan) diri mereka kepadanya dan memusuhi orang lain demi
membela pendapat dan penisbatan tersebut.” (Majmu’ Fatawa 20/164)
251. Umar bin Abdul Aziz berkata :
“Jika kamu lihat satu kaum berbisik-bisik dengan satu urusan
tanpa diikuti (diketahui) oleh khalayak ramai berarti mereka di atas landasan
kesesatan.” (Ad Darimy 1/103 nomor 307)
252. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata :
“Adapun jika mereka berpindah dari satu madzhab ke madzhab
lainnya karena perintah agama misalnya telah jelas baginya keterangan yang
lebih kuat lalu ia kembali berpegang dengan pendapat yang ia pandang lebih dekat
kepada apa yang dimaukan Allah dan Rasul-Nya maka ia diberi pahala dengan sikap
yang demikian akan tetapi wajib bagi setiap orang untuk tidak menyimpang atau
mengikuti siapapun yang menyelisihi hukum Allah dan Rasul-Nya apabila telah
jelas baginya ketetapan Allah dan Rasul-Nya. Karena sesungguhnya Allah telah
mewajibkan ketaatan kepada Rasul-Nya Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam di atas
ketaatan kepada siapapun dan dalam keadaan bagaimanapun.” (Fatawa Al Kubra
5/96)
253. Umar bin Al Khaththab berkata :
“Sesungguhnya saya benci kepada orang yang berjalan sia-sia
yaitu tidak karena urusan dunia dan tidak pula akhirat.” (Adabus Syariah 3/588)
254. Ibnu Mas’ud berkata :
“Sungguh saya benar-benar membenci orang yang kosong tidak
beramal untuk dunia dan tidak pula untuk akhirat.” (Bayan Fadlli Ilmis Salaf
halaman 38)
255. Ibnul Atsir berkata :
“Sesungguhnya meninggalkan ahli ahwa dan ahli bid’ah terus
berlangsung seiring perjalanan masa selama mereka tidak menampakkan taubat dan
kembali kepada yang haq.” (An Nihayah 5/245)
256. Ibnu Umar berkata :
“Saya tidak mengetahui satu perkara di dalam Islam ini yang
menurutku lebih utama daripada selamatnya hatiku dari hawa nafsu yang suka
berselisih ini.” (Al Hujjah fi Bayanil Mahajjah 1/304)
Abu Abdillah Jamal bin Farihan berkata :
“Saya pun tidak mengetahui satu perkara di dalam agama Islam
ini yang menurutku lebih utama daripada aku diselamatkan Allah dari sikap
fanatik golongan yang sangat dibenci ini yang menelan kurban dari kalangan
pemuda dan sebagian para dai di masa kini dan fanatisme itu juga telah
mengotori pikiran mereka dan menghalangi mereka dari manhaj Salafus Shalih.”
257. Ayyub bin Al Qariyyah berkata :
“Orang yang paling berhak mendapatkan penghormatan ada tiga
yaitu ulama, saudara (sesama Mukmin), dan para penguasa maka siapa yang
meremehkan ulama berarti ia merusak kepribadiannya sendiri dan siapa meremehkan
penguasa berarti ia merusak dunianya dan orang yang berakal itu tidak akan
meremehkan siapapun, adapun yang disebut sebagai orang yang berakal adalah
orang yang menjadikan agama itu sebagai dasar syariatnya dan kesantunan adalah
wataknya sedangkan logika yang baik adalah pembawaannya.” (Jami’ Bayanil Ilmi
Ibnu Abdil Barr 231)
258. Diriwayatkan dari Aly bin Abi Thalib bahwa ia berkata :
[ Di antara hak-hak orang yang berilmu yang harus kamu
penuhi adalah jika kamu mendatanginya berilah salam khusus untuknya lalu untuk
seluruhnya kemudian duduklah di hadapannya dan jangan memberi isyarat dengan
tanganmu dan jangan memandangnya dengan remeh dan jangan berkata :
“Si Fulan mengatakan pendapat yang berbeda dengan pendapat
Anda!”
Dan jangan menarik pakaiannya, jangan mendesak dalam
bertanya karena sesungguhnya kedudukannya bagaikan kurma yang masih basah yang
akan selalu jatuh kepadamu. ] (Ibid)
259. Imam An Nawawi berkata :
“Dalam hadits ini [sikap Ibnul Mughaffal yang meninggalkan
shahabatnya yang menolak (tetap melempar) sesudah dilarangnya padahal telah
disampaikannya sabda Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam] terdapat
pelajaran tentang bolehnya meninggalkan ahli bid’ah dan kefasikan serta
orang-orang yang menolak As Sunnah padahal ia telah mengetahuinya. Bahkan
sesungguhnya boleh pula meninggalkan (menjauhi)nya selama-lamanya.” (Syarh
Shahih Muslim 13/106)
260. Dikatakan kepada Imam Al Mizzy : “Si Fulan membencimu!”
Ia menjawab : “Dekat kepadanya bukanlah keramahan dan jauh
darinya bukanlah sesuatu yang menakutkan.” (Adabus Syari’ah 3/575)
261. Al Ashma’i berkata, Abu Amru bin Al Ala’ berkata
kepadaku :
“Wahai Abdul Malik, berhati-hatilah kamu terhadap orang yang
mulia jika kamu menghinanya dan terhadap si pencela jika kamu memuliakannya,
serta waspadalah terhadap orang yang berakal jika kamu menyulitkannya, juga
terhadap orang yang bodoh jika kamu bergurau dengannya. Dan berhati-hatilah
kamu terhadap orang yang jahat jika kamu bergaul dengannya dan bukanlah
termasuk adab (akhlak yang baik, ed.) menjawab orang yang tidak menanyaimu atau
kamu bertanya pada orang yang tidak dapat menjawab atau kamu berbicara dengan
orang yang tidak mau diam memperhatikan (ucapan)mu.” (Ibid)
262. Umar bin Abdul Aziz berkata :
“Sesungguhnya orang-orang yang terdahulu (Salafus Shalih)
itu berhenti di atas dasar ilmu dengan bashirah yang tajam (menembus) mereka,
menahan (dirinya), dan mereka lebih mampu dalam membahas sesuatu jika mereka
ingin membahasnya.” (Bayan Fadlli Ilmis Salaf 38)
Ibnu Rajab berkata :
“Dan sungguh orang yang datang belakangan lebih banyak
terfitnah dalam perkara ini. Mereka menyangka bahwa orang yang banyak
ucapannya, debatnya ataupun bantahannya dalam masalah agama adalah orang yang
paling berilmu dibanding orang yang tidak seperti itu maka ini sesungguhnya
benar-benar kebodohan yang murni, coba perhatikan para pembesar shahabat dan
ulama mereka seperti Abu Bakr, Umar, Aly, Mu’adz, Ibnu Mas’ud, dan Zaid bin
Tsabit radliyallahu anhum, bagaimana keadaan mereka padahal ucapan mereka lebih
ringkas dari ucapan Ibnu Abbas dan mereka jelas lebih alim dibanding Ibnu
Abbas. Begitu pula dengan para tabi’in, ucapan mereka lebih banyak daripada ucapan
para shahabat sedangkan para shahabat lebih alim dibandingkan mereka juga para
tabi’ut tabi’in, ucapan mereka lebih banyak daripada ucapan para tabi’in namun
para tabi’in lebih alim (berilmu) dari mereka. Jadi jelaslah bahwa ilmu tidak
diukur dengan banyaknya periwayatan apalagi pendapat akan tetapi ilmu itu
adalah cahaya yang diletakkan Allah di dalam hati seorang hamba sehingga ia
dapat mengenal yang haq dan membedakannya dari yang bathil serta mampu
menerangkan yang haq itu dengan ungkapan-ungkapan yang ringkas dan tepat
menurut tujuannya.” (Ibid)
Begitu pula para ulama Rabbani seperti Syaikh Al Allamah
Abdul Aziz bin Baaz, Al Albani, Al Utsaimin, dan Syaikh Shalih Al Fauzan.
Ucapan mereka lebih ringkas dibandingkan ucapan orang-orang yang menjuluki diri
sendiri sebagai dai padahal mereka memenuhi isi kaset ceramah mereka dengan
berbagai ungkapan yang panjang lebar (bertele-tele, pent.) sedangkan
beliau-beliau ini jauh lebih alim daripada mereka.
263. Ibnu Rajab berkata :
[ Maka wajib diyakini bahwa tidaklah setiap orang yang luas
pembahasan dan perkataannya dalam masalah ilmu lebih alim dari orang yang tidak
demikian keadaannya. Dan sungguh kita pernah diuji dengan kebodohan sebagian
manusia yang meyakini bahwa luasnya pembahasan orang-orang yang datang
belakangan menunjukkan mereka lebih berilmu daripada orang-orang yang
terdahulu. [Seperti ungkapan mereka : “Perkataan Khalaf (orang-orang yang
datang belakangan itu lebih berhikmah (ahkam), berilmu (a’lam) dan lebih
selamat (aslam). Tidakkah mereka tahu apa bedanya bintang tsurayya dan apa yang
di bawah (tahta) ats tsara?? Setiap kebaikan (hanya) dengan mengikuti Salaf,
pent.] ] (Ibid)
264. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata :
“Bukan suatu aib bagi seseorang untuk menampakkan manhaj
Salafus Shalih, menisbatkan diri dan bersandar kepadanya bahkan wajib
menerimanya dengan (menurut) kesepakatan para ulama karena sesungguhnya manhaj
Salafus Shalih itu tidak lain hanyalah kebenaran.” (Al Fatawa 4/149)
BAB 29 : Syair-Syair
265. Ibnu Baththah menyebutkan bait-bait ini, Asy Sya’bi ia
berkata, Aly bin Abi Thalib berkata kepada seorang laki-laki yang berteman
dengan seseorang yang ia tidak suka laki-laki itu bergaul dengannya :
Janganlah berteman dengan saudara yang bodoh, hati-hatilah
kamu dan jauhilah dia
Betapa banyak orang yang bodoh menjahili orang yang sabar
ketika dianggap saudara
Seseorang itu dinilai dengan temannya ketika ia berjalan
bersamanya
Dan sesuatu dengan yang lainnya mengandung kias dan
keserupaan
Juga ruh dengan ruh yang lain sebagai bukti ketika saling
bertemu
Orang yang cerdas jika ia melihat apa yang menakutkannya
akan berjaga-jaga
Orang yang lalai akan tertipu seiring dengan peredaran masa
ia akan tertimpa petaka
Siapa yang memahami perjalanan waktu tidak akan meremehkan
nikmat yang ada padanya
Dan ia berkata --juga-- :
Jika kamu tidak sakit berteman dengan orang sakit dan
menjadi temannya berarti kamu orang yang sakit
266. Ibnu Baththah juga menyebutkan bahwa Abu Bakr bin Al
Anbary berkata kepada kami, Ubay mengucapkan syair kepada Abul Atahiyah :
Siapa lagi yang akan tersamar bagimu jika kamu perhatikan
teman dekatnya
Dan pemuda dengan wataknya merupakan tanda yang bercahaya di
keningnya
267. Abu Bakr Al Arjaniy berkata dalam syairnya :
Ketika aku uji manusia aku meminta dari mereka teman yang
dapat dipercaya ketika menghadapi kesulitan
Kelapangan dan kesulitan memperebutkan keadaanku aku
berteriak ke seluruh penjuru adakah yang mau membantu
Aku tidak dapati kecuali banyak yang gembira dengan
kesulitanku dan aku tidak temukan kecuali banyak yang iri dengan kebahagiaanku
268. Penyair lain berkata :
Siapa yang ingin meluaskan pergaulan hendaknya ia bertaqwa
dan bersikap lembut
Menundukkan pandangan dari kejelekan orang yang berbuat
jelek dan sabar dengan kejahilan teman
Penutup
Inilah yang dapat kami kumpulkan. Semoga shalawat dan salam
Allah limpahkan kepada hamba dan utusan-Nya, Muhammad serta kepada keluarga dan
para shahabatnya.
Dikumpulkan oleh : Abu Abdillah Jamal bin Farihan Al Haritsi
Penterjemah Idral Harits
_________
Daftar Rujukan Ta’liq
Ø Fathul Majid, Syaikh Abdurrahman bin
Hasan Alu Syaikh.
Ø Irwa’ul Ghalil, Al Albani.
Ø Al Mudzakkir, Ibnu Abi Ashim.
Ø Gharibul Hadits, Ibnu Atsir.
Ebook compiled by Akhukum Fillah La Adri At Tilmidz
Semoga bermanfaat
Artikel terkait:
- Versi ebook bisa di download disini: Kilauan Mutiara Hikmah Dari Nasihat Salaful Ummah
- Download ebook-ebook lainnya di Halaman Download I
- DOWNLOAD ENSIKLOPEDIA ISLAM/BUKU PINTAR ISLAM 10 JILID GRATIS
- Dasar-Dasar Aqidah Islam Secara Umum
- Mengenal Bid'ah
0 komentar:
Posting Komentar